REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Dalam satu tahun ini, Angkatan Darat kehilangan tiga putra terbaiknya. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Purnawirawan) Pramono Edhie Wibowo, wafat dalam usia 65 tahun. Ia wafat pada Sabtu (13/6), karena serangan jantung.
Pramono Edhie Wibowo menjadi KSAD sejak 30 Juni 2011 hingga 20 Mei 2013. Ia merupakan abituren Akademi Militer (Akmil) 1980 dari Korps Infanteri, Komando pula. Lulus mengagumkan dengan ranking nomor dua terbaik. Peraih Adi Makayasa Akmil 1980 Mayjen (Purnawirawan) Muktiyanto dari Korps Intendans. Kini Korps Pembekalan dan Angkutan (Bekang).
Edhie panggilan akrab dari Pramono Edhie Wibowo adalah putra dari almarhum Jenderal Kehormatan (Purnawirawan) Sarwo Edhie Wibowo. Salah satu legenda komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) 1965-1967. Kini disebut Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Sebulan lalu, tepatnya 10 Mei 2020, mantan KSAD Jenderal (Purnawirawan) Djoko Santoso wafat dalam usia 67 tahun. Almarhum Djoko Santoso (Djoksan) menjadi KSAD sejak 18 Februari 2005 hingga 28 Desember 2007. Ia merupakan abituren Akmil 1975 dari Korps Infanteri. Kariernya kemudian berlanjut menjadi Panglima TNI sejak 28 Desember 2007 hingga 28 September 2010.
Setahun yang lalu, Angkatan Darat juga kehilangan putra terbaiknya. Mantan KSAD Jenderal TNI (Purnawirawan) George Toisutta wafat dalam usia 66 tahun pada 12 Jui 2019. Ia merupakan abituren Akmil 1976 dari Korps Infanteri. Almarhum Toisutta menjadi KSAD sejak 29 November 2009 hingga 30 Juni 2011.
Ketiganya wafat dalam usia yang hampir sama, 65-66-67 tahun. Usia seseorang memang rahasia Tuhan Sang Maha Pencipta. Ayah dari Pramono Edhie Wibowo, almarhum Sarwo Edhie Wibowo wafat dalam usia hampir sama, yakni 64 tahun pada 9 November 1989.
Relasi Korea
Pramono Edhie Wibowo menjadi taruna Akmil pada 1977-1980, saat ayahnya menjadi duta besar RI di Korea Selatan (Korsel) pada Mei 1973-Mei 1978. Sarwo punya ikatan yang kuat dengan Korsel. Termasuk pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar Taekwondo Indonesia pada 1984-1988. Olahraga beladiri asal Korea.
Edhie mengikuti jejak ayahnya, menjadi Ketua Dewan Pembina Federasi Yongmoodo Indonesia (FYI) pada 2012. Olahraga beladiri yang juga berasal dari Korsel. Ia menangani Yongmoodo saat menjadi KSAD. Meneruskan langkah seniornya Jenderal Toisutta yang didaulat menjadi Wakil Presiden Federasi Yongmoodo Dunia (WYF).
Yoongmodo menjadi olahraga beladiri wajib bagi TNI AD. Saat pengukuhan pengurus FYI 2012-2016, penulis di minta menjadi bagian dari hubungan masyarakat FYI. Pelantikan dipimpin Wakil KSAD Letjen Budiman selaku wakil ketua dewan Pembina FYI. Ia mewakili KSAD yang berhalangan hadir, karena ada acara di Istana Kepresidenan.
Dalam acara pengukuhan di Gedung Nanggala, Markas Kopassus Cijantung, Jakarta Timur, sebagai Ketua Umum Letjen TNI Gatot Nurmantyo (Komandan Kodiklatad). Wakil ketua umum Brigjen Doni Monardo (Wadanjen Kopassus). Sedangkan sebagai sekjen, Machrup Elrick. Sementara ketua harian Mayjen Agus Sutomo (Komandan Paspampres) berhalangan hadir, karena mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Gatot, Doni, dan Elric mewakili seluruh pengurus pusat FYI menggunakan kimono hijau khas Yongmoodo. Ketiganya disematkan sabuk hitam Dan 1 Kehormatan oleh Presiden WYF Kim Byung Chun. Disaksikan ketua umum Federasi Yongmoodo Korea, Park Sun Jin. Serta penerjemah Lee Mu Chan yang juga pengurus FYI bidang hubungan Indonesia-Korea dan perwasitan.
Seluruh pengurus menggunakan stelan jas hitam, kemeja putih, dan dasi merah berlambang World Yongmodo Federation (WYF). Termasuk di antaranya Brigjen Wiyarto (Kasdam Mulawarman). Hadir dalam pelantikan, di antaranya Pangkostrad Mayjen M Munir. Ia belum naik pangkat Letjen. Tuan rumah Danjen Kopassus Mayjen Whisnu Bawa Tenaya, serta sejumlah asisten KSAD dan petinggi TNI AD lainnya.
“Pengurus harus bisa membawa Yongmoodo bukan hanya dikenal di ligkungan militer, tetapi juga kepada masyarakat Indonesia. Menjadikan Yongmoodo sebagai cabang olahraga yang bisa dipertandingkan di PON (Pekan Olahraga Nasional),” pinta Jenderal Pramono Edhie, seperti dituturkan Letjen Budiman.
Gagal bintang empat
Naiknya Panglima Kostrad, Letjen Pranomo Edhie menjadi KSAD, sempat riuh di media massa pada Juni 2011. Ia melampaui seniornya, Wakil KSAD Letjen Budiman. Budiman dari Korps Zeni, selain lulusan terbaik abituren Akmil 1978, usianya pun lebih muda daripada Pramono Edhie. Budiman kelahiran 25 September 1956. Sedangkan Pramono kelahiran 5 Mei 1955.
Budiman harus ‘mengalah’, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki hak prerogratif memilih KSAD. Pramono Edhie merupakan adik kandung dari Ibu Negara, Kristiani Herrawati alias Ani Yudhoyono. Ani Yudhoyono wafat satu tahun lalu, dalam usia 66 tahun. Tepatnya pada 1 Juni 2019 di Singapura.
Naiknya Pramono Edhie sebagai KSAD sekaligus menerima kenaikan pangkat jenderal bintang empat. Peristiwa itu disyukuri keluarga besar Sarwo Edhie Wibowo. Akhirnya trah Sarwo Edhie menjadi jenderal bintang empat tanpa embel-embel kehormatan.
Sarwo Edhie mengakhiri karier militer dengan pangkat terakhir Letjen TNI. Satu tahun menjelang lengser, Presiden Soeharto ‘menyadari’ ada sejumlah pihak yang layak mendapatkan bintang empat yang tertunda. Ia pun memberikan kenaikan pangkat jenderal kehormatan untuk sejumlah jenderal angkatan 1945.
Di antaranya kepada KSAD pertama (1948-1949) almarhum Jenderal Kehormatan (Purnawirawan) GPH Djatikusumo dari Korps Zeni dan almarhum Jenderal Kehormatan (Purnawirawan) Sarwo Edhie Wibowo dari Korps Infanteri. Sah Sarwo menjadi bintang empat.
Tiga tahun kemudian pada 2000. Menantu Sarwo Edhie Wibowo, yakni Susilo Bambang Yudhoyono juga diberikan kenaikan pangkat jenderal bintang empat kehormatan. Sesuatu yang tidak diinginkan SBY. Ia dipaksa pensiun dini dalam usia 50 tahun pada tahun 1999 era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Padahal saat itu SBY sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI merupakan calon kuat KSAD. Namun, SBY dijadikan menteri pertambangan dan energi oleh Gus Dur atas usulan Jenderal Wiranto. Kala itu posisi Wiranto cukup kuat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima TNI era Presiden BJ Habibie.
Wiranto kemudian dijadikan Menko Polsoskam. Sejak itu hubungan SBY dan Wiranto menjadi ‘janggal’. Tentu, publik bisa menilai, Wiranto yang ‘menjegal’ SBY sebagai bintang empat.
Era itu jika menduduki jabatan sipil, termasuk menteri, maka harus pensiun dini. SBY kecewa berat harus pensiun dengan pangkat Letjen. Lulusan terbaik Akmil 1973, sudah berpangkat Letjen. Memenuhi syarat menjadi bintang empat dengan posisi KSAD. Tapi harus kandas ‘dikalahkan’ oleh kepentingan politik.
Dalam sebuah wawancara, kepada penulis SBY mengungkapkan, dua kali menunjukkan penolakan saat akan dijadikan menteri oleh Gus Dur. Trah Sarwo Edhie merasa ‘dikerjain’, karena SBY gagal menjadi KSAD. Otomatis gagal pula menjadi jenderal bintang empat aktif.
Akhirnya yang menjadi KSAD adalah Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Letjen Tyasno Sudarto (Akmil 1970) menggantikan Jenderal Subagyo HS (Akmil 1970). Subagyo berhenti sebagai KSAD dalam usia 53 tahun.
Akhirnya Presiden Gus Dur memberikan pangkat jenderal bintang empat kehormatan kepada SBY di usia jelang 51 tahun pada 2000. Sulit dibayangkan antara senang dan sedih.
Setelah SBY, ada saudara iparnya Letjen Erwin Sujono. Erwin abituren Akmil 1975 menikah dengan anak kedua dari Sarwo Edhie, yakni Wirahasti Cendrawasih. Kakak kandung dari Ani Yudhoyono (Kristiani Herrawati). Erwin saat itu juga memenuhi syarat menjadi bintang empat. Bahkan ia sudah menjabat sebagai Panglima Kostrad, sejak Mei 2006.
Puncaknya, SBY malah memilih Sesmenko Polhukam Letjen Agustadi Sasongko Purnomo menggantikan adik kelasnya Djoksan. Djoksan promosi menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal Djoko Suyanto, lulusan terbaik AAU 1973.
Agustadi abiruten Akmil 1974 dari Korps Infanteri, lulusan terbaik. Ia menjadi KSAD pada 28 Desember 2007 hingga 9 November 2009. Barangkali SBY merasakan betapa getirnya sebagai peraih Adhi Makayasa. Tinggal satu langkah lagi, namun gagal meraih bintang empat aktif sebagai KSAD. Agustadi yang dipilih, bukan Erwin Sujono, saudara iparnya. Di sini SBY mendapatkan pujian. Tidak nepotisme.
Sampai akhirnya muncul Pramono Edhie. Pembawa trah Sarwo Edhie. Berhasil meraih bintang empat dengan jabatan sebagai KSAD pada 30 Juni 2011 hingga 20 Mei 2013.
Profesional bersahaja
TNI AD tentu kehilangan mantan pemimpinnya. Jenderal Edhie termasuk yang memperjuangkan agar AD memilki alat utama sistem senjata (alutsista) yang andal. Di antaranya helikopter Apache AH-64E. Menjadi helikopter tempur terbaik yang kini memperkuat Puspenerbad.
Selain itu, Edhie juga memperjuangkan agar TNI AD memiliki Main Battle Tank (MBT) atau tank kelas berat Leopard buatan Jerman. Itulah salah satu tank terbaik di dunia yang kini dimiliki TNI-AD. Melengkapi alutsista Korps Kavaleri TNI AD.
Saat itu yang banyak dipermasalahkan adalah jembatan untuk dilalui MBT tersebut. Kini jembatan mobil untuk MBT juga sudah dimiliki Korps Zeni berupa M3 Amphibious Pontoon buatan Jerman. Menjadi satu paket dengan MBT Leopard dalam operasi pertempuran.
Begitulah rencana strategis pertahanan negara dan program minimum essential force (MEF) TNI.
“Indonesia harus memiliki militer yang kuat agar disegani dunia,” kata Jenderal Edhie saat membuka pameran alutsista di Kemayoran, tahun 2012.
Penulis hadir dalam pameran itu sekaligus diberikan kesempatan untuk masuk ke dalam tank Leopard yang sudah diberikan ruangan pendingin. Terasa nyaman bagi prajurit yang mengendalikan alussista modern tersebut.
Walau sudah pensiun dari dinas militer, ia tetap membantu TNI dalam membawa tank Leopard ke Indonesia. Pada saat pengiriman perdana tank Leopard tahun 2014, Jenderal (Purnawirawan) Edhie bertolak ke Hamburg, Jerman. Menghadiri upacara pengiriman perdana 52 tank Leopard dari 164 unit yang dipesan TNI AD melalui Kementerian Pertahanan. Ia ikut rombongan Wakil Menhan Letjen (Purnawirawan) Sjafrie Sjamsoeddin. Wajar, karena Edhie yang menginisiasi tank Leopard untuk TNI AD.
Jenderal Edhie tipikal militer professional. Ia menjalani semua prosedur, termasuk semua pendidikan militer dilaluinya dengan baik. Menghormati para seniornya, termasuk Jenderal Budiman yang dilompatinya dalam dinamika saat itu. Memberikan kesempatan Budiman mewakilinya dalam acara-acara penting AD. Ia pun berusaha menhindari konflik dengan para koleganya. Santun dan rendah hati.
Jabatan-jabatannya cukup mentereng. Antara lain Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) Kopassus, Kepala Staf Kodam (Kasdam) Diponegoro, Danjen Kopassus, Panglima Kodam (Pangdam) Siliwangi, Panglima Kostrad, hingga puncaknya sebagai KSAD. Usai dari dinas militer, ia bergabung ke Partai Demokrat. Partai yang dibidani SBY.
Kendati memiliki sejumlah jabatan mentereng, Edhie dikenal sebagai tipe sederhana. Mengikuti jejak ayahnya, Sarwo Edhie. Pernah dua kali, penulis berada dalam pesawat yang sama dengan Jenderal Edhie. Dari Makassar dan Balikpapan menuju Jakarta. Dia tidak duduk di kursi bisnis, melainkan di kursi ekonomi.
Saat ditanya, mengapa tidak duduk di kursi kelas bisnis? Edhie menjawab.”Saya rakyat biasa dan saya merasa nyaman dengan kondisi begini. Untuk apa buang-buang uang?” kata Edhie bersahaja di dalam pesawat.
Selamat jalan Jenderal Edhie.