REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepasang anak laki-laki kembar yang belum genap berusia delapan tahun sedang asyik mendaras Alquran di berbagai ruangan di rumahnya. Anak kembar bernama Al Ghazali Tsaqib Janitra Raja dan Al Khalifi Zikri Jonea Raja itu tak terlihat tertekan, bahkan wajah mereka terlihat gembira saat sedang membaca sembari menghafal kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam tersebut. Pertanyaannya bagaimana cara sang ayah mendidik anak kembarnya mencintai dan menghafal Alquran.
Erwin Raja, sosok pria yang menjadi ayah dari Al Ghazali dan Al Khalifi. Saat berbincang dengan Republika, mantan produser program televisi anak-anak penghafal Alquran, Hafiz Indonesia itu mengungkapkan cara dia sebagai ayah mendidik kedua anaknya untuk mencintai Alquran.
"Metode sebenarnya adalah membiasakan anak (membaca Alquran)," kata Erwin membuka percakapan.
Pria yang dikenal dengan sebutan Ayah Kembar itu menuturkan, segala kegiatan ibadah harus dipaksa agar menjadi kebiasaan. Seperti Sholat Tahajud, kata Erwin, kalau tidak memaksakan diri, sampai kapan pun akan sulit memiliki kebiasaan sholat di tengah malam. "Sesuatu yang baik harus dipaksakan, termasuk ke anak agar lama-lama menjadi kebiasaan," tutur dia.
Anak itu belum punya pilihan, jadi, kata Erwin melanjutkan, para orang tua harus berperan membentuk karakter anak. "Tugas orang tua itu mengarahkan anak-anaknya. Tidak cukup menjadi orang tua biologis, kita juga harus menjadi orang tua ideologis."
Erwin merawikan kedua anak laki-laki kembarnya sudah ia tanamkan pendidikan Alquran sejak dini. Sejak usia dua tahun, kata Erwin, kedua anak laki-lakinya bahkan sudah belajar di pesantren meski tidak menginap. "Mondok ngalong istilahnya," kata jebolan Universitas Satria Makassar ini.
Titik balik Erwin Raja hijrah terjadi pada 2013 saat itu diamanahi sebagai produser Hafiz Indonesia di salah satu televisi swasta. Program kompetisi yang mempertemukan anak-anak penghafal Alquran itu memecut semangat Erwin untuk menjadikan anak-anaknya sebagai penghafal Alquran.
Pendiri Travel BisaUmroh itu mengaku terinspirasi dengan peserta Hafiz Indonesia 2013 paling fenomenal, Adi. Balita yang baru berusia tiga tahun itu sudah hafal juz 30. Namun menjadikan anak-anaknya seperti Adi hanya sebatas keinginan lantaran Erwin mengaku sadar tidak ada yang istimewa di dalam dirinya sebagai orang tua. Bekerja dari pagi sampai malam hari, sampai di rumah kontrakan menegok anak-anak sebentar kemudian tidur. Tidak ada yang istimewa. Yang mungkin istimewa hanya memperdengarkan Alquran di rumah kontrakan untuk anak-anaknya.
"Ana lebih termotivasi melihat anak-anak orang lain bisa hebat seperti itu. Tapi ada satu sisi yang membuat ana agak down, karena melihat orang tua mereka juga hebat. Entah nyantri atau memiliki latar pendidikan agama yang bagus, sementara ana pendidikan agama tidak terlalu bagus," ucap Erwin menceritakan.
"Tapi," kata dia melanjutkan," ana memotivasi diri sendiri. Kalau orang lain bisa saya pasti bisa, karena Tuhannya sama. Karena sama-sama punya Allah. Dia punya Allah saya punya Allah, jadi entah metodenya seperti apa anak-anak saya pasti bisa (menjadi penghafal Alquran)."
Namun rasa "inginnya" berubah menjadi "iri" saat Hafiz Indonesia 2014 bergulir ketika ia bertemu Musa, anak berusia lima tahun yang keluar sebagai juara. Anak kelahiran Bangka itu mampu menghafal 30 juz Alquran.
Ia pun membulatkan tekad. Selain berdoa agar anak kembarnya menjadi hafiz, ia menemui Ustadzah Dr Nurul Hikmah MA, pimpinan sebuah pondok pesantren di mana Adi Hafiz Indonesia 2013 menjadi santri. Rencananya ia ingin mendaftarkan anak kembarnya menjadi "santri kalong", pulang pergi alias tidak menginap.
Awalnya rencana itu ditolak sang istri dengan berbagai alasan, seperti anak kembarnya baru berusia dua tahun, jarak rumahnya di Kebun Jeruk dengan pesantren cukup jauh, dan mereka belum punya mobil jadi cukup merepotkan jika naik sepeda motor.
Ia pun memberikan pengertian kepada istrinya untuk mendidik anak-anaknya sebagai santri kalong. "Selain itu, suami dan istri juga harus saling mendukung, harus ridho satu sama lain. Kita suami inginnya anak mondok, tapi kalau istrinya gak mau, berat. Solusinya komunikasi, harus ada kesepakatan. Yang paling berat (melepas anak ke pesantren) itu ibu, tapi kalau untuk belajar agama, tidak ada tega gak tega," ujar Erwin.
Namun, kata Erwin, kurang dari 100 hari istrinya akhirnya menyetujui. Rutinitas mengantarkan anak kembarnya menjadi santri pun dilakoni setiap hari.
Bahkan, pendiri Lembaga An-Nashr Islamic School ini ketika memilih berhijrah tidak setengah-setengah. Ia memilih pindah rumah kontrakan di daerah Kebun Jeruk pada 2015 dan pindah ke Ciputat dekat Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah, demi mendapatkan tempat tinggal yang kondusif untuk anak-anaknya menghafal Alquran.
Erwin berkata, rumah kontrakannya di Kebun Jeruk berada di perkampungan dengan lingkungan yang kurang mendukung untuk mendidik anak-anaknya menghafal Alquran, sementara di Ciputat lebih dekat dengan pesantren anak kembarnya. "Alhamdulillah pada usia tiga tahun, Si Kembar sudah hafal juz 30 (tahun 2015). Dan sejak usia tiga tahun sudah dibiasakan sholat Subuh di masjid."
Sejak saat itu, Erwin secara bertahap menjalani proses hijrah. Pada 2016 ia bahkan mengundurkan diri dari kantornya dan memilih mewakafkan diri bekerja dengan Allah.
"Solehkan dulu dirimu hingga anakmu mencontoh dirimu. Kita gak bisa meminta anak membaca Alquran, tapi kita gak mencontohkannya. Anak itu mesin foto kopi terbaik, jadi harus meniru apa yang dilihatnya."
Namun, jika ada orang tua yang kurang yakin akan kemampuan agamanya, Erwin menyarankan untuk bermitra dengan mencarikan sekolah atau guru mengaji untuk anak-anaknya. Meski sudah memasukan anak ke pesantren atau sekolah, semua anggota keluarga, suami dan istri juga harus hijrah bersama.
"Harus pararel. Anak kita sekolahin, sekalian (orang tuanya) nyari ilmu. Jangan sekadar anak di pondok, terus lepas tangan begitu anak pulang ke rumah. Kalau kata ulama, ibu adalah madrasah pertama, ayah adalah kepala madrasah. Harus ada kerja sama yang baik antara ibu dan ayah, karena team work hasilnya lebih bagus daripada dikerjakan sendiri."
Anak kecil, kata dia, jika belum baligh tentunya ia akan bersih dari segala dosa. Hati dan pikiran mereka masih bersih, memorinya masih belum terisi penuh. "Inilah saat terbaik kita instal 'aplikasi islami' dalam diri anak-anak kita," kata dia.
Ia pun menyarankan agar anak-anak dijauhi dari perangkat elektronik dan gawai. Ajarkan anak-anak Alquran dan nilai-nilai Islam lainnya, kata dia, jangan kotori hati dan pikiran anak-anak dengan sesuatu yang tak layak mereka dapatkan, baik apa yang mereka liat dan rasakan langsung atau melalui perantara alat elektronik dan gadget.
"Kuatkan indera pendengaran mereka, dengan perbanyak perdengarkan Alquran. Karena melalui indera pendengaran, kinerja otak akan lebih maksimal. Sekali lagi, saya dan istri layaknya orang tua pada umumnya yang inginkan anak-anaknya menjadi soleh dan soleha. Kami pun masih belajar, jauh dari sempurna dan berusaha menjadi orang tua yang baik. Tujuan kami berbagi adalah ingin mengejar salah satu amalan yang tidak terputus meski kami telah tiada, yakni ilmu yang bermanfaat."