REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi peningkatan Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2020. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), IPAK 2020 mengalami kenaikan sebesar 0,14 poin.
"Peningkatan ini patut diapresiasi," ucap Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding melalui keterangannya di Jakarta, Senin (15/6).
Diketahui, IPAK 2020 yang baru saja dirilis BPS mencatat skor 3,84. Naik sebesar 0,14 poin dibandingkan 2019 yang mencatat skor 3,70. Dengan skala indeks 0 sampai 5, di mana rentang indeks 3,76 sampai 5,00 adalah sangat antikorupsi, maka skor IPAK 2020 dikategorikan sangat antikorupsi.
Capaian itu, kata Ipi, memperlihatkan strategi pencegahan korupsi yang dilakukan oleh KPK bersama dengan semua pemangku kepentingan mulai dari kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, aparat penegak hukum, institusi pendidikan serta masyarakat sipil mengalami peningkatan. "Dalam hal kesadaran dan perilaku masyarakat ketika berhadapan dengan aksi penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (nepotism)," ujar Ipi.
Namun demikian, lanjut dia, bila dirinci terdapat penurunan persepsi antikorupsi di level keluarga, komunitas, dan publik. "Di level keluarga, misalnya, banyak istri tak mempertanyakan asal uang ketika suami memberikan uang di luar gaji serta menganggap wajar penggunaan mobil dinas di luar tugas kantor," tuturnya.
Di level komunitas, ia mengungkapkan masyarakat menganggap wajar memberikan uang, barang atau fasilitas kepada Ketua RT/RW dan tokoh masyarakat saat hari raya keagamaan. "Lalu di level publik, masyarakat memandang wajar menerima uang, barang, atau fasilitas untuk memilih kandidat tertentu dalam pilkada atau pemilu," ujar Ipi.
Selain itu, ia juga menyatakan meskipun meningkat dibandingkan 2019, IPAK 2020 masih di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 yang mematok skor 4,0. Terkait penurunan persepsi tersebut, KPK memandang hal ini sebagai ruang untuk terus mendorong upaya-upaya pencegahan korupsi melalui pembangunan budaya antikorupsi dan proses pendidikan politik kepada masyarakat.
"KPK telah melakukan dua kajian terkait hal tersebut, yaitu sejak 2016, KPK telah mengembangkan Program Pencegahan Korupsi Berbasis Keluarga. Program ini bertujuan agar orang tua kembali menjalankan fungsinya dalam keluarga, setidaknya fungsi sosialisasi nilai kejujuran," tutur dia.
Terkait masih permisifnya masyarakat terhadap politik uang dalam pilkada atau pemilu, ia menuturkan hasil kajian dan temuan lapangan mengonfirmasi bahwa beberapa praktik gratifikasi atau suap yang cukup signifikan terjadi dalam proses Pilkada Langsung.
"Karenanya, KPK berharap di masa depan upaya pencegahan korupsi terutama terkait upaya peningkatan kesadaran dan perilaku masyarakat terhadap suap, pemerasan, dan nepotisme semakin masif dilakukan oleh seluruh pemangku-kepentingan," ucap Ipi.