Selasa 16 Jun 2020 06:53 WIB

Pelonggaran Lockdown Dinilai Bisa Pulihkan Ekspor-Impor

Pelonggaran lockdown perlu dibarengi dengan mulai pulihnya produksi dalam negeri.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
Aktivitas pabrik (ilustrasi). Pelonggaran lockdown di beberapa negara perlu dibarengi dengan mulai pulihnya produksi dalam negeri untuk mendorong ekspor.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Aktivitas pabrik (ilustrasi). Pelonggaran lockdown di beberapa negara perlu dibarengi dengan mulai pulihnya produksi dalam negeri untuk mendorong ekspor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja perdagangan nasional anjlok pada Mei. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, neraca perdagangan Indonesia pada Mei mengalami surplus sebesar 2,09 miliar dolar AS. Namun, surplus terjadi karena kinerja ekspor maupun impor menurun, masing-masing sebanyak 28,95 persen dan 42,20 persen jika dibandingkan Mei tahun lalu.

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai, pelonggaran karantina wilayah atau lockdown di beberapa negara akan membantu pemulihan kinerja ekspor impor Indonesia. Hanya saja perlu dibarengi dengan mulai pulihnya proses produksi dalam negeri.

"Ini berarti pabrik dan bisnis juga perlu mulai berproduksi agar bisa memulihkan kinerja ekspor impor. Di sisi lain, pemulihan proses produksi dalam negeri, berarti bisnis beroperasi secara normal, juga perlu dilakukan secara hati-hati dan mengikuti protokol kesehatan," jelas Riefky kepada Republika.co.id, Senin (15/6).

Ia menegaskan, protokol kesehatan penting diterapkan. Sebab proses bisnis yang dibuka memiliki risiko penyebaran virus lebih besar.

"Kalau hal ini memicu second wave justru akan memukul performa perdagangan Indonesia lebih parah ke depannya," tegas dia.

Terkait surplus perdagangan pada Mei, Riefky mengatakan, perlu dicermati lebih mendalam. Sebab surplus muncul bukan karena peningkatan ekspor, namun akibat penurunan impor yang lebih dalam. 

"Ini mengkhawatirkan untuk pertumbuhan ekonomi ke depannya, karena sekitar 75 persen dari total impor Indonesia merupakan bahan baku atau penolong yang merupakan input bagi produksi domestik. Adapun sepanjang periode Januari sampai Mei 2020 impor bahan baku turun pula 15,28 persen year on year (yoy)," jelasnya.

Dampak penurunan impor ke depannya, lanjut dia, bisa menjadi menghambat produksi dan ekspor di beberapa kuartal mendatang sehinhga bakal menghambat pertumbuhan ekonomi. "Jadi walaupun trade surplus berdampak positif pada perhitungan pertumbuhan ekonomi karena naiknya net ekspor, namun ini hanya sesaat karena dampak negatif dari turunnya impor ini baru akan terealisasi pada periode mendatang," tutur dia.

Di sisi lain, sambungnya, kondisi ini mencerminkan keadaan perekonomian global. Seperti diketahui, berbagai negara lainnya juga mengalami kondisi serupa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement