Jurnalis kawakan Filipina, Maria Ressa terancam enam tahun penjara setelah divonis bersalah dalam sidang putusan pencemaran nama baik, pada Senin (15/06). Namun para pegiat HAM dan pembela kekebasan pers menuding ada manipulasi kasus, bagi suara-suara yang kritis terhadap kepemimpinan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Ressa (56) dan situs berita Rappler diyakini telah menjadi target upaya hukum dan penyelidikan karena kerap kritis terhadap kebijakan-kebijakan Duterte, termasuk kebijakan perang narkoba yang telah menewaskan ribuan orang.
Pengadilan menyatakan Ressa bersalah atas artikel yang dimuat di Rappler pada tahun 2012. Kasus ini berawal dari laporan seorang pebisnis pada tahun 2017 terhadap berita Rappler yang dimuat lima tahun sebelumnya, tentang keterlibatan pebisnis tersebut dengan kasus pembunuhan, perdagangan orang, dan narkoba.
Ressa, pemimpin redaksi Rappler, dan Reynaldo Santos, mantan jurnalis Rappler yang menulis artikel itu, diputuskan untuk membayar 400.000 peso atau Rp 113 juta sebagai ganti rugi.
Ressa yang pernah dinobatkan sebagai Person of the Year oleh majalah Time pada tahun 2018, tidak menulis artikel itu dan para penyelidik pemerintah pun awalnya menolak tuduhan pengusaha itu.
Namun jaksa penuntut mengajukan tuntutan terhadap Ressa dan Santos, berdasarkan Undang-undang Kejahatan Siber yang kontroversial, yang bertujuan menindak pelanggaran online seperti menguntit dan pornografi anak.
Awalnya artikel Rappler tidak bisa digugat karena terbit sebelum UU Kejahatan Siber disahkan. Namun jaksa penuntut mengatakan redaksi Rappler melakukan koreksi tipografis pada kata “evation” menjadi “evasion, sehingga dianggap oleh pengadilan merupakan modifikasi substansial dan karenanya artikel tersebut bisa digugat menggunakan UU Kejahatan Siber.
UU Kejahatan Siber mulai berlaku pada September 2012, sedangkan koreksi penulisan oleh redaksi Rappler dilakukan pada 2014.
"Peristiwa saya menjadi peringatan: diam atau jadi target berikutnya ... itu sebagian alasan mengapa saya menjadi sasaran," ujar Ressa, salah satu pendiri Rappler dan mantan jurnalis CNN, kepada AFP dalam sebuah wawancara eksklusif pekan lalu.
Namun, pemerintah Duterte mengatakan kasus itu tidak bermotif politik dan bahwa pihak berwenang harus menegakkan hukum, bahkan terhadap wartawan sekalipun.
Duterte tuding Rappler sebagai "outlet berita palsu"
Namun kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia dan advokat pers mengatakan tuduhan pencemaran nama baik, serta serangkaian tekanan terhadap Rappler dan langkah pemerintah untuk menghapus lisensi situs berita itu merupakan bentuk pelecehan oeh negara.
Amnesty International mengatakan "serangan" terhadap Rappler adalah bagian dari tindakan keras pemerintah yang lebih luas mengekang kebebasan pers di Filipina.
Putusan terhadap Ressa dijatuhkan sebulan setelah pemerintah memaksa media terkemuka di Filipina ABS-CBN, untuk menghentikan jaringan. Banyak pihak menyakini bahwa Rappler dan ABS-CBN menjadi target karena kerap kritis terhadap kebijakan Duterte.
Kedua kantor berita tersebut, Rappler dan ABS-CBN, telah melaporkan secara luas tentang kebijakan anti-narkoba Duterte yang kontroversial, karena polisi menembak mati para penyalur dan pengguna dalam operasi tersebut. Kampanye Duterte menuai kritik tajam dari kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia.
Beberapa kritikus yang vokal terhadap kebijakan Duterte telah berakhir di balik jeruji besi, termasuk Senator Leila de Lima, yang menjalani hukuman tiga tahun penjara atas tuduhan narkoba yang ia yakini dibuat-buat untuk membungkamnya.
Pada tahun 2018, Duterte mengecam Rappler sebagai "outlet berita palsu" dan kemudian melarang Ressa dan wartawan Rappler datang di acara kepresidenan.
pkp/rap (dpa, AFP)