Selasa 16 Jun 2020 14:30 WIB

Turki tak Mengakui Jenderal Haftar

Turki lebih memilih bernegosiasi dengan Saleh Issa yang mewakili wilayah timur Libya.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Jenderal Khalifa Haftar meminta bantuan untuk melawan pemerintah Libya yang dibantu oleh Turki. Ilustrasi.
Foto: Yannis Kolesidis/EPA
Jenderal Khalifa Haftar meminta bantuan untuk melawan pemerintah Libya yang dibantu oleh Turki. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Kepala Parlemen Libya yang bebasis di Tobruk, Aguila Saleh Issa digadang sebagai mitra negosiasi paling layak dalam konflik Libya. Saleh Issa pantas mewakili blok timur Libya daripada Khalifa Haftar.

Hal itu diungkapkan secara ekslusif oleh utusan khusus presiden Turki untuk Libya, Emrullah Isler kepada media Middle East Eye.

Baca Juga

Menurutnya, Haftar adalah seorang diktator yang gagal dan Turki tidak pernah mengenalinya sebagai pemain sah. Menurut Isler, Jenderal Haftar juga akan kehilangan dukungan Rusia dan tidak akan mengambil tempat di masa depan Libya.

"Negosiasi politik harus dilakukan oleh para politisi. Aguila Saleh Issa, sebagai politisi, secara khusus harus berkontribusi dalam proses ini," ujar Isler dikutip laman Middle East Eye (MEE), Selasa (16/6).

Turki secara politis dan militer mendukung Government of National Accord (GNA) yang diakui PBB berbasis di Tripoli. Turki ikut berperan dalam upaya pasukan Tripoli menyingkirkan Libyan National Army (LNA) yang dipimpin Haftar dan bersekutu dengan parlemen Tobruk timur.

Isler mengatakan, parlemen Tobruk adalah bagian sah negara Libya di bawah kesepakatan politik yang diakui PBB yang ditandatangani pada 2015.

Dia mencatat bahwa Saleh, yang ia temui sebelumnya pada 2017, telah terpilih sebagai pembicara.

"Kami membuka pintu kami untuk semua orang. Saya secara pribadi telah mengunjungi Libya timur tiga kali selama bertahun-tahun dan selalu bekerja untuk solusi politik," kata Isler.

"Saya percaya Aguila Saleh harus menjalankan peran ini secara positif," ujarnya menambahkan.

Meski ada embargo senjata PBB, Turki menandatangani perjanjian kerja sama militer dengan GNA dan mengirim pesawat tanpa awak, kendaraan lapis baja, tentara bayaran Suriah dan perwira militer untuk mendukung pemerintah, yang sedang berjuang untuk melawan pasukan Haftar. Sang Jenderal tak berdiri sendiri. Ia didukung UEA, Mesir, dan Rusia.

Pasukan Tripoli terus bergerak maju mengepung Sirte, basis Haftar. Pangkalan udara strategis Al-Watiya pun berhasil dikendalikan kembali oleh GNA bulan lalu dengan bantuan militer Turki. Ini adalah salah satu dari serangkaian kemenangan melawan LNA yang telah melihat serangan komandan timur di Libya barat hancur.

Sementara itu, Kairo menyerukan gencatan senjata di Libya dengan deklarasi yang ditandatangani oleh Haftar dan Saleh. Isler mengatakan Haftar telah berulang kali menolak untuk mematuhi gencatan senjata selama setahun terakhir, dan kata-katanya tidak dapat diterima begitu saja.

"Untuk memulai negosiasi politik dan mencapai gencatan senjata, GNA meyakini bahwa pencapaian teritorial lebih lanjut diperlukan. Prioritas mereka adalah Sirte dan Jufra," kata Isler.

Pada Ahad kemarin, Kementerian luar negeri Turki mengumumkan bahwa kunjungan delegasi tingkat tinggi Rusia untuk membahas gencatan senjata telah ditunda karena perselisihan langsung. Isler meyakini masalah utama antara kedua negara adalah fakta bahwa GNA tidak berencana untuk kembali ke perundingan tanpa perebutan kembali wilayah Sirte dan Jufra dari Haftar.

"Kedua belah pihak saling mengetahui posisi masing-masing. Pembicaraan akan berlanjut," katanya.

Rusia bulan lalu mengerahkan beberapa jet tempur di Jufra untuk mendukung pasukan Haftar. Tidak jelas apa yang akan terjadi jika pasukan sekutu GNA mencapai daerah tersebut atau tidak. Beberapa laporan di media Arab mengatakan para pejabat Mesir kecewa dengan Haftar dan Kairo mencari jalan keluar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement