REPUBLIKA.CO.ID, TURKI – Beberapa bulan terakhir Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berulang kali mempertanyakan penetapan perbatasan wilayah Turki yang diklaim negara tetangga. Penyataannya tersebut dituju kepada warga negaranya namun secara bersamaan, Turki juga telah mengirimkan pasukannya di Suriah dan Irak.
Pada akhir Desember 2019, Erdogan mengkritik perjanjian Lausanne yang menetapkan perbatasan Turki modern.
"Beberapa orang telah mencoba menipu kita dengan menghadirkan Traktat Lausanne sebagai kemenangan," kata Erdogan dalam sebuah pidato di Ankara, dilansir dari Qantara, Selasa (16/6).
Tetapi faktanya lanjut dia, melalui perjanjian Lausanne Turki telah melepaskan Pulau Aegean. Pulau yang begitu dekat dari Turki.
Pernyataan Edrogan ini merupakan kritik terhadap Yunani yang mengatakan bahwa tidak bijaksana bila menantang perjanjian Lausanne 1923. Karena perjanjian itu mewakili realitas dunia yang beradab yang tidak dapat diabaikan siapapun.
Terlepas dari reaksi kemarahan orang-orang Yunani, Erdogan kembali mengeluarkan pernyataan berkaitan dengan wilayah Mosul di Irak.
Erdogan menegaskan bahwa Perjanjian Lausanne, di mana Turki setuju di bawah tekanan setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama untuk menyerahkan semua wilayah Kekaisaran Ottoman.
"Ini mengurangi negara kita pada 1914 dari 2,5 juta kilometer persegi, menjadi 780 ribu kilometer persegi," ujar Edrogan.
Apakah Turki serius berencana untuk kembali mengajukan klaim atas wilayah bekas kekaisaran Ottoman?
Sementara di dalam negeri sendiri, pernyataannya ini telah memicu kekhawatiran dan gelombang panas dari Partai Rakyat Republik (CHP). Partai tertua di Turki dan didirikan Mustafa Kemal Ataturk yakni Presiden pertama Turki.
"Perjanjian Lausanne adalah 'dokumen pendiri' Republik Turki," kata anggota parlemen CHP Gulsun Bilgehan.
Gulsun Bilgehan merupakan cucu rekan dekat Ataturk, Ismet Inonu yang merupakan orang yang menegosiasikan Perjanjian Lausanne."Erdogan harus membaca buku sejarah lagi," sambungnya.
Perjanjian Lausanne merupakan perjanjian damai dan dianggap sebagai keberhasilan bagi Turki, karena merevisi Perjanjian 1919 dari Sevres. Perjanjian tersebut menyudahi konflik yang terjadi antara Yunani, Prancis, Italia dan Armenia dengan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia Pertama.
Setelah perang kemerdekaan nasionalis Turki yang sukses di bawah kepemimpinan Ataturk, pertemuan kekuatan besar Eropa di Lausanne, Swiss kemudian dipaksa untuk mengakui keberadaan Republik Turki modern.
Referensi Erdogan untuk ukuran Kekaisaran Ottoman sebelumnya bukanlah hal baru. Sejak Partai AKP mengambil alih kekuasaan pada tahun 2002, dia telah berupaya untuk kembali mengingatkan kekaisaran dengan cara yang lebih positif.
Menteri luar negerinya yang lama, Ahmet Davutoglu, sampai digulingkan sebagai Perdana Menteri pada Mei lalu. Ia memiliki pengaruh besar pada ideologi AKP, menjadikan bekas negara-negara Ottoman seperti Irak dan Suriah menjadi fokus kebijakan luar negeri Turki dan berusaha memposisikan Turki sebagai pemimpin regional.
Banyak pengamat berpendapat bahwa pernyataan irredentis Erdogan baru-baru ini sebagian besar termotivasi di dalam negeri, tetapi pada saat yang sama mereka menuduhnya tidak mempertimbangkan kemungkinan dampak kebijakan luar negeri.
"Erdogan mengatakan apapun yang muncul di kepalanya, tetapi kebijakan luar negeri adalah bidang yang membutuhkan visi jangka panjang dan perencanaan yang cermat," komentar mantan duta besar Turki Suha Umar di majalah internet Al-Monitor.
"Kesalahan terbesarnya adalah menggunakan kebijakan luar negeri untuk agenda politik domestiknya," ujar Kolihnis Semih Idiz menulis di Al-Monitor.
"Erdogan, dengan ucapannya yang sering bersemangat dan impulsif kepada audiensi yang didominasi Muslim dan Sunni, sering lupa konsekuensi dari kata-katanya dan kesulitan yang akan mereka sebabkan untuk Turki," sambungnya.
Negara-negara tetangga juga prihatin dengan pernyataan Erdogan. Karena Presiden seharusnya tidak hanya pintar beretorika, tetapi juga menunjukkan tekad untuk mengambil tindakan terhadap ancaman terhadap keamanan Turki yang datang dari luar negeri.
Misalnya dengan melakukan intervensi di Suriah utara pada akhir Agustus untuk mendorong kembali para jihadis Negara Islam (IS) serta Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) dari perbatasan Turki, belum lagi memperkuat pasukannya di Irak utara sebelum untuk ofensif terhadap benteng IS di Mosul.
Langkah ini menurut Idiz, memicu reaksi kemarahan Parlemen di Baghdad, serta mendorong Perdana Menteri Haidar Al-Abadi untuk menuntut penarikan pasukan Turki dari Irak.
Erdogan justru menanggapi dengan mendesak Al-Abadi agar mengetahui tempatnya, dengan mengatakan bahwa ia tidak berada pada level yang sama dengan dirinya.
Turki tidak hanya menolak untuk menarik pasukan, tetapi juga menuntut agar mereka berpartisipasi dalam serangan mendatang di Mosul. Di mana mereka menampilkan diri sebagai kekuatan yang melindungi Sunni terhadap militasi Syiah dari Irak selatan.
Di satu sisi, kebijakan yang sekarang dipraktikkan pemerintah Turki didorong oleh ambisi untuk memperluas lingkup pengaruh negara di kawasan dan karenanya membawa Turki pada kehebatan baru yang dimotivasi ketakutan.
Ketakutan para jihadis yang telah melakukan serangan menyakitkan di negara itu dan takut bahwa Partai Pekerja Kurdistan (PKK) akan memperpanjang pertempuran daripada mundur di Irak utara dan kanton-kanton Kurdi di Suriah ke Turki sendiri.
Dalam pidatonya yang dia sampaikan pada 22 Desember, Erdogan menyebut lagi perihal kesedihannya atas apa yang hilang melalui perjanjian Lausanne. "Jika kita tidak berhati-hati di masa-masa sulit ini, ketika upaya sedang dilakukan untuk merestrukturisasi dunia dan wilayah kita, kita akan menemukan diri kita dihadapkan dengan kondisi seperti di Sevres," kata Edrogan. "Turki menyaksikan perjuangan terbesarnya sejak perang kemerdekaan," katanya lagi.
Perjuangan untuk negara yang bersatu, tanah air yang bersatu, negara yang bersatu. Pakar kebijakan Fuat Keyman dari Pusat Kebijakan Istanbul menunjukkan bahwa dalam dua pekan terakhir, Erdogan telah tiga kali dalam pidatonya mengkritisi Perjanjian Sevres. Peringatan terhadap pembagian baru Turki mencerminkan rasa pemerintah menjadi sasaran ancaman eksistensial.
"Turki saat ini tidak hanya menghadapi serangan oleh PKK dan IS tetapi juga harus berurusan dengan gerakan Gulen, yang pemerintah tuduh atas kudeta militer yang gagal pada 15 Juli," kats Keyman.
Mengingat suasana ancaman ini, Erdogan sekali lagi menunjukkan bahwa dia bisa pragmatis jika perlu. Setelah mengerahkan kekuatan musim panas ini untuk meminta maaf kepada Moskow karena menembak jatuh sebuah pesawat tempur Rusia di perbatasan Turki-Suriah pada November 2015, ia sekarang telah memulai pemulihan hubungan dengan Irak.
Sesaat sebelum akhir tahun, Erdogan menelepon Al-Abadi, yang dia katakan hanya beberapa pekan sebelumnya bahwa dia tidak berada pada level yang sama, untuk membahas perang bersama melawan terorisme. Dan selama kunjungan ke Baghdad pada awal Januari, Perdana Menteri Turki Binali Yildirim meyakinkan rakyat Irak bahwa kehadiran pasukan Turki di Mosul tidak diarahkan melawan kedaulatan Irak, tetapi berfungsi semata-mata untuk memperkuat perang melawan para jihadis.