REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON – Pelaku penembakan masjid di Selandia Baru memiliki izin memegang senjata api akibat kesalahan polisi. Seorang sumber menyebut pelaku teroris 15 Maret 2019 ini lolos uji dan mendapatkan izinnya.
Dikutip di Stuff, pelaku yang mengaku bersalah atas penembakan massal terburuk Selandia Baru pada Maret tahun lalu ini, tidak diperiksa dengan benar oleh staf penyelidik polisi ketika dia mengajukan permohonan lisensi senjata api pada 2017.
Di antara kesalahan-kesalahan yang ada, salah satunya adalah polisi gagal mewawancarai seorang anggota keluarga sebagaimana disyaratkan. Alih-alih polisi mengandalkan hasil wawancara dua pria yang ditemui pelaki teroris melalui sebuah ruang obrolan di internet.
Kesalahan yang diabaikan ini memungkinkan seorang warga Australia menimbun senjata semi-otomatis dan kemudian digunakan untuk membunuh 51 orang.
Lebih dari setahun setelah serangan teror 15 Maret, orang dalam polisi mengatakan kesalahan itu adalah produk dari sistem senjata api polisi yang telah lama terabaikan dan tidak memiliki sumber daya untuk menangani aplikasi dengan baik.
"Ini bisa dihindari. Jika polisi telah mengatasi beberapa masalah dengan pengelolaan senjata api bertahun-tahun yang lalu, ini bisa dihindari," kata seorang sumber dikutip di Stuff, Selasa (16/6).
Pada 15 Maret 2019, seorang pria bersenjata api memasuki Masjid An-Nur (juga dikenal sebagai Al Noor) di Christchurch dan menembaki jamaah. Dia kemudian melakukan perjalanan ke Masjid Linwood dan sekali lagi melepaskan tembakan.
Dia dipersenjatai dengan senjata api semi-otomatis yang diperoleh sah secara hukum setelah pindah ke Selandia Baru pada Agustus 2017.
Polisi sebelumnya telah mengkonfirmasi bahwa dia mengajukan permohonan lisensi pada September 2017. Pria ini melakukan wawancara di rumahnya, di Somerville St, Dunedin pada Oktober, lalu diberikan lisensi setelah aplikasi ditinjau pada November.
Namun, seorang sumber dari kepolisian mengatakan permohonan lisensi seharusnya tidak diberikan. Ini karena staf penyaringan polisi gagal untuk mewawancarai wasit atau juri yang tepat untuk pelaku tersebut.
Pemohon lisensi harus menyediakan dua juri untuk diwawancarai oleh staf penyidik polisi. Juri nantinya ditugaskan untuk menilai risiko yang bisa ditimbulkan seseorang jika diberikan lisensi senjata api.
Menurut manual senjata api polisi, yang pertama harus berasal dari keluarga terdekat, seperti pasangan atau orang tua. Sementara juri yang kedua adalah orang yang tidak terkait atau mengenal pelamar dengan baik.
Menurut sumber yang mengetahui tentang masalah tersebut, lisensi yang dimiliki pelaku diberikan tanpa mewawancarai anggota keluarga atau bahkan dilakukan pemanggilan.
Sebaliknya, satu-satunya wasit yang diwawancarai oleh polisi adalah ayah dan anak Cambridge. Mereka mengenal pelaku penembakan melalui ruang obrolan internet.
Sumber-sumber kepolisian, yang mencakup staf saat ini dan mantan staf yang berbicara kepada //Stuff// dengan syarat anonim, mengatakan lisensi tidak akan diberikan jika prosedur yang tepat diikuti.
Petugas lainnya yang seharusnya memeriksa pemohon dengan benar sebelum mengeluarkan lisensi. Namun tidak ada peringatan yang dikeluarkan mengenai data pelaku yang tidak lengkap.
Aplikasi permintaan lisensi dari pelaku disebut datang pada saat kantor senjata di distrik Dunedin dipenuhi oleh aplikasi lainnya.
Sebuah sumber mengatakan staf Dunedin kadang-kadang akan menelpon rekan-rekan mereka di markas polisi. Dalam sambungan telepon tersebut, mereka menangis karena tekanan beban kerja. Pengerjaan aplikasi lisensi didorong melalui kecepatan.
"Lisensi yang salah dan dimiliki pelaku penembakan adalah hasil dari rejim kendali senjata api yang dihancurkan oleh kesalahan manajemen polisi selama bertahun-tahun," kata sumber kepolisian.
Sumber itu mengatakan, distrik polisi selama bertahun-tahun kekurangan dana untuk kantor senjata mereka. Mereka bahkan memangkas staf yang mengelola aplikasi lisensi senjata api.
Banyak proyek untuk memperbaiki sistem perizinan senjata api direncanakan di markas besar kepolisian, namun harus dihentikan sebelum dimulai. Petugas senjata polisi dan staf penyaringan diberi bayaran rendah mengerjakan aplikasi lisensi tanpa pengawasan yang tepat.
Hal tersebut terungkap ketika Parlemen memberikan suara pada putaran kedua undang-undang reformasi senjata api minggu ini, segera setelah melarang senjata semi-otomatis seminggu setelah serangan teror.
New Zealand First and Labour disebut telah sepakat untuk kemungkinan menghapus rezim lisensi senjata api dari kontrol polisi, serta membentuk otoritas senjata api independen yang terpisah.
Polisi juga membuat perubahan tentang bagaimana mereka memeriksakan orang yang mengajukan izin senjata api. Saat ini gaji dan pelatihan staf pemeriksaan sedang ditinjau. Setelah serangan teror 15 Maret, polisi menghadapi kritik publik atas manajemen senjata api.
Seorang mantan manajer senjata api untuk polisi, Joe Green, menuduh staf polisi gagal mewawancarai pelaku di rumahnya, sebagaimana diminta. Dia juga mengatakan bahwa juri yang diwawancarai tidak memadai syarat yang berlaku.
Seorang anggota terkemuka dari Federasi Asosiasi Islam Selandia Baru, Abdul Lateef Smith menyuarakan pendapatnua kepada anggota parlemen di bulan Oktober 2019.
"Kami tidak tahu pasti tetapi ada kemungkinan bahwa penembak Christchurch aplikasinya tidak ditindak dengan baik," ujarnya.
Polisi lantas membantah kekhawatiran yang muncul beberapa hari setelah serangan teror. Mereka menyebut semua proses yang benar diikuti dan aplikasi pelaku akan ditinjau kembali.
"Terdakwa awalnya mendaftarkan anggota keluarga sebagai salah satu jurinya, tetapi orang itu tidak tinggal di Selandia Baru," ujar pernyataan yang dikeluarkan seminggu setelah penembakan itu terjadi.
Terdakwa disebut lantas memberikan dua juri yang memenuhi syarat proses. Dua orang ini kemudian diwawancarai secara langsung oleh petugas pemeriksaan senjata api polisi.
Polisi menolak permintaan wawancara tentang penanganannya atas lisensi teroris ini. Mereka juga tidak mau menanggapi pertanyaan tertulis yang dikirimkan Stuff terkait lisensi maupun penanganan sistem senjata api.
Sebuah pernyataan tertulis, dikaitkan dengan Wakil Komisaris Mike Clement, mengatakan polisi tidak dapat membuat komentar lebih lanjut karena Komisi Penyelidikan Royal sedang berlangsung mengenai serangan teror 15 Maret.
"Polisi berkomitmen pada program kerja untuk memastikan administrasi kami dari tindakan senjata sesuai untuk tujuan. Ini didasarkan pada penilaian kami sendiri tentang apa yang perlu kita lakukan," pernyataan itu berbunyi. Komisi Kerajaan akan melaporkan kembali pada 31 Juli.