REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga dapat mendekati nol atau bahkan melampauinya. Dengan cara ini, Indonesia dapat terhindar dari jurang resesi yang secara teknikal diartikan sebagai kontraksi selama dua kuartal berturut-turut.
Sri menyebutkan, kontraksi ekonomi menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan pada kuartal kedua. Ia bahkan memprediksi, pertumbuhan dapat mencapai negatif 3,1 persen dibandingkan kuartal kedua tahun lalu.
Kontraksi dikarenakan pemerintah pusat maupun daerah mulai insentif memberlakukan social distancing pada pertengahan dan akhir Maret yang berdampak pada perlambatan kegiatan ekonomi. Efeknya sudah terlihat dari penerimaan pajak bulan lalu yang mengalami kontraksi pada semua sektor.
"Nah, kita harap (pertumbuhan ekonomi) kuartal ketiga dekati nol, sehingga technically nggak resesi," kata Sri dalam konferensi pers Kinerja APBN Kita, Selasa (16/6).
Harapan tersebut muncul seiring dengan pembukaan kembali aktivitas ekonomi beberapa sektor pada pekan kedua Juni. Khususnya di DKI Jakarta yang menjadi pusat kegiatan bisnis Indonesia.
Seiring dengan relaksasi berbagai pembatasan, Sri berharap dampaknya bisa terasa pada kuartal ketiga. "Paling tidak situasi terburuknya tidak terulang lagi di kuartal ketiga karena kuartal kedua sudah pasti yang terburuk karena April-Mei 2020 dalam (penurunannya)," tuturnya.
Apabila target ini dapat tercapai, Sri optimistis pertumbuhan tahun ini masih berada dalam rentang yang ditargetkan pemerintah, yaitu minus 0,4 persen sampai 2,3 persen.
Sri mengakui, dibutuhkan perjuangan berat untuk mencapai pertumbuhan mendekati nol pada kuartal ketiga. Salah satu aspek yang sangat menentukan pencapaian ini adalah realisasi pemulihan ekonomi nasional di lapangan. Meskipun anggarannya sudah ditentukan dalam APBN, dampak ke ekonomi tidak akan signifikan apabila belum diimplementasikan secara tepat.
Sri memberikan contoh, implementasi stimulus sektor kesehatan kini masih berada pada level 1,54 persen dari anggaran yang ditetapkan pemerintah, Rp 87,55 triliun. Kecilnya realisasi ini dikarenakan masih terkendala proses administrasi dan verifikasi yang rigid. "Jadi, ada gap antara realisasi keuangan dan fisik dengan anggaran yang disediakan maupun pelaksanaannya," katanya.
Sementara itu, realisasi insentif dunia usaha juga baru mencapai 6,8 persen dari total anggaran Rp 120,61 triliun. Sri mencatat, masih ada beberapa wajib pajak yang sebenarnya memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif, namun belum atau tidak mengajukan permohonan insentif.
Realisasi lebih baik terjadi pada pemberian perlindungan sosial untuk penanganan pandemi yang telah mencapai 28,63 persen dari total anggaran Rp 203,9 triliun. Hanya saja, masih ada beberapa bentuk perlindungan sosial yang perlu diperbaiki. Di antaranya realisasi kartu prakerja dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa yang masih relatif rendah, sehingga perlu diakselerasi.
Apabila insentif ini berjalan optimal di lapangan seiring dengan relaksasi kegiatan ekonomi, pemulihan di kuartal ketiga dan keempat mungkin saja terjadi. "Kalau tidak terjadi second wave, ekonomi di kuartal keempat bisa akselerasi," ucap Sri.