Selasa 16 Jun 2020 18:03 WIB

Soal RUU HIP, Pemerintah Belum Sampaikan Sikap ke DPR 

Pemerintah akan menyampaikannya secara resmi paling lama 30 hari ke depan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, saat konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (16/6).
Foto: Dok. Humas Kemenko Polhukam
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, saat konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (16/6).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pemerintah belum menyampaikan secara resmi keputusan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Pemerintah akan menyampaikannya secara resmi paling lama 30 hari ke depan.

"Pemerintah kan punya waktu 30 hari. Nanti, saya tidak tahu tanggal pastinya, tapi bulan ini. Nanti akan disampaikan secara resmi," ungkap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, pada konferensi pers di Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (16/6).

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menjelaskan, konferensi pers tentang sikap pemerintah yang ia lakukan itu sebagai bentuk pemberitahuan kepada masyarakat sekaligus juga DPR RI. Untuk pemberitahuan secara resmi kepada DPR akan dilakukan setelahnya.

"Nanti yang akan beri tahu secara resmi sesuai dengan prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan bahwa kita meminta DPR menunda untuk membahas itu, itu nanti Menkumham yang akan memberi tahu secara resmi," kata dia.

Mahfud pada kesempatan itu menyatakan, pemerintah akan meminta penundaan ke DPR atas pembahasan RUU HIP. Untuk itu, penerintah tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) untuk pembahasan RUU itu di DPR.

"Sesudah Presiden berbicara dengan banyak kalangan dan mempelajari isinya, maka pemerintah memutuskan untuk menunda atau meminta penundaan kepada DPR atas pembahasan RUU tersebut," ujar Mahfud.

Mahfud menjelaskan, RUU tersebut merupakan inisiatif DPR yang disampaikan kepada pemerintah. Dengan krputusan tersebut, pemerintah juga memibta kepada DPR untuk berdialog serta menyerap aspirasi seluruh kekuatan atau elemen-elemen masyarakat yang lebih banyak lagi.

"Jadi pemerintah tidak mengirimkan Supres, tidak mengirimkan Surat Presiden untuk pembahasan itu. Itu aspek proseduralnya," ungkap dia.

Dari aspek substansi, Mahfud menjelaskan, Presiden juga menyatakan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 masih berlalu mengikat. Karena itu, tentang hal tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi. Menurut dia, pemerintah tetap berkomitmen TAP MPRS tersebut merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat.

"TAP MPRS tentang larangan komunisme Marxisme dan Leninisme itu merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat dan tidak bisa lagi dicabut oleh lembaga negara atau oleh UU sekarang ini," ucap dia.

Mahfud juga mengatakan, pemerintah berpendapat rumusan Pancasila yang sah ialah rumusan yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Rumusan Pancasila yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement