REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Utang piutang dalam Islam merupakan perkara yang mendapat perhatian, ini karena persoalan utang merupakan tanggung jawab yang akan tetap dibawa pengutang hingga meninggal dunia.
Di antara persoalan yang muncul adalah, apa hukum seseorang yang mempunyai kemampuan membayar utang, namun memilih menunda pelunasan hingga jatuh tempo?
Founder Rumah Fiqih, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan masalah menunda utang ini bergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. "Jika seseorang memiliki keleluasaan membayar utang tetapi belum jatuh tempo, maka tidak masalah menundanya hingga jatuh tempo tetapi jika dia menunda atau mangkir karena telah jatuh tempo padahal mampu ini adalah sebuah kezaliman,"jelas dia kepada Republika.co.id, Ahad (14/6).
Ustadz Sarwat menjelaskan misalnya ada seseorang berutang Rp 10 juta sepakat akan dibayar dalam waktu tiga bulan.
Jika selama tiga bulan itu menunda untuk membayar maka tidak apa-apa, uang yang ada digunakan lebih dahulu dengan syarat pada saat jatuh tempo uang yang akan ditagihkan harus ada.
Utang memiliki masa tenggangnya, seperti utang puasa misalnya utang puasa Ramadhan tahun ini dapat dibayar kapan saja hingga 30 Syaban tahun depan, yang terpenting tidak melewati Ramadhan tahun berikutnya.
Tidak membayar sebelum masa jatuh tempo ini tidaklah berdosa. Namun memang lebih baik jika dibayar lebih cepat.
Karena jika itu utang uang, khawatir terpakai dan tidak dapat mengumpulkannya kembali. Ini lebih kepada etika dan strategi keuangan saja dan tidak melanggar klausul perjanjian utang piutang.
"Seperti membuat makalah tugas, biasanya mahasiswa mengumpulkan saat di akhir batas waktu, padahal di masa sebelum deadline mahasiswa dapat mengumpulkannya lebih cepat,"jelas dia.
Sesuai dengan hukum syariah utang piutang sebagaimana ajaran Rasulullah SAW, utang piutang itu harus tercatat, tidak boleh utang tersebut tanpa ada dokumen. Kemudian utang itu harus ada agunan atau jaminan, seperti Rasulullah yang pernah meminjam uang kepada seorang Yahudi. Beliau memberikan baju besinya sebagai agunan yang nilainya lebih tinggi dari uang yang dipinjamkan Rasulullah SAW.
Sehingga jika Rasul tidak sanggup membayar utang, baju besi tersebut dapat digunakan sebagai pengganti atas uang yang dipinjamnya. Orang Yahudi tersebut bisa menggadaikannya atau melelangnya. Dengan begitu Rasulullah dapat membayar utang, orang Yahudi ini tidak mengalami kerugian.
Inilah sebenarnya aturan yang sangat Islami, yang memang saat ini telah banyak digunakan di berbagai bank. Melakukan manajemen risiko ketika ada transaksi utang piutang dengan agunan ini dapat dilakukan.n Ratna Ajeng Tejomukti