REPUBLIKA.CO.ID, Tepat setahun lalu, 17 Juni 2019, mantan presiden Mesir Muhammad Mursi meninggal dunia. Presiden pertama Mesir yang terpilih lewat jalur Demokrasi ini tidak meninggal di rumah atau bersamaa keluarga.
Mursi meninggal dalam persidangan yang dinilai bernuansa politik. Politikus Ikhwanul Muslimin itu sempat dilarikan ke rumah sakit. Namun nyawanya tidak tertolong.
Pemerintahan Mursi tak berlangsung lama. Ia dikudeta oleh Menteri Pertahanan yang ia angkat Abdul Fattah al-Sisi pada 2013. Dua hari setelah Panglima Militer Mesir Jenderal Abdel Fattah al-Sisi memberikan ultimatum kepada presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis, Mohammed Mursi untuk menyelesaikan krisis 30 Juni 2013. Al-Sisi memerintahkan penangkapan Mursi.
Saat itu media Qatar, Aljazirah melaporkan salah seorang petinggi Ikhwanul Muslimin mengatakan Mursi dibawa ke fasilitas militer bersama pejabat tinggi lainnya. Sementara BBC mengutip juru bicara Ikhwanul Muslimin Gehad el-Haddad yang mengatakan Mursi menjadi tahanan rumah bersama 'seluruh tim presiden'.
"Pidato presiden semalam tidak sesuai dan memenuhi tuntutan (rakyat, mendorong angkatan bersenjata untuk berunding) dengan beberapa simbol pasukan nasional dan pemuda tanpa mengecualikan siapa pun," kata El-Sisi dalam pidatonya.
"(Mereka menyetujui peta jalan militer) yang termasuk tahap awal untuk mewujudkan pembangunan masyarakat Mesir yang kuat dan koheren yang tidak mengecualikan siapa pun dan pada akhirnya mengakhir konflik dan perpecahan saat ini," tambah al-Sisi.
Pada 5 Juli anggota Ikhwanul Muslimin dan simpatisan mereka menggelar unjuk rasa yang dinamakan 'Penolakan Jumat' yang artinya mereka menolak Mursi digulingkan. Di sejumlah daerah mereka bentrok dengan polisi dan tentara. Beberapa media melaporkan tentara menembakan peluru tajam ke arah kerumunan. Sebanyak 36 orang tewas dan lebih dari 1.000 lainnya terluka.
Pada 8 Juli Ikhwanul Muslimin menuduh pemerintah Mesir melakukan pembantaian di Kairo. Saat itu Aljazirah melaporkan Kementerian Kesehatan Mesir mengatakan setidaknya 42 orang tewas terbunuh dari 300 orang lainnya terluka.
Anggota Parlemen Ikhwanul Muslimin Mohammed Ibrahim El-Betagy mengatakan insiden itu terjadi saat shalat subuh. Polisi masuk ke dalam lokasi kejadiaan dan melakukan pembantaian. "Mayoritas korban luka terkena tembakan di kepala," kata salah satu dokter.
Dua hari kemudian pemerintah Mesir mengeluarkan surat penangkapan Pemimpin Tertinggi Ikhwanul Muslimin di Mesir Mohammed Badie dan sejumlah petinggi organisasi tersebut. Mereka berjanji akan terus melakukan perlawanan terhadap pemerintahan militer.
Di hari yang sama Program Laporan Investigasi University Berkeley California menemukan bukti Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menggelontorkan dana untuk politisi dan aktivis di Mesir untuk memicu kerusuhan setelah Husni Mubarak digulingkan. Pemerintah AS menyebutnya sebagai program 'bantuan demokrasi'.
Pada 11 Juli AS pun mengumumkan akan meninjau ulang aliran dana sebesar 12 juta dolar AS yang diberikan ke Mesir setelah Mubarak ditumbangkan.
Pada 13 Agustus presiden sementara Adly Mansour menunjuk 18 gubernur baru yang sebagian besar perwira militer dan menyingkirkan semua pejabat Ikhwanul Muslimin.
Satu hari kemudian polisi Mesir menyerbu kamp pendukung Mursi yang sudah melakukan protes selama enam pekan dan membubarkan mereka. Bentrokan terjadi ketika pemerintah mengumumkan masa darurat nasional selama satu bulan.
Kementerian Kesehatan Mesir mengatakan korban tewas mencapai 638 orang, sebanyak 595 di antaranya warga sipil dan 43 petugas kepolisian. Sekitar 3.994 orang terluka.
Pada akhir Desember 2013 Ikhwanul Muslimin resmi menjadi ditetapkan sebagai kelompok teroris. Wakil Perdana Menteri Mesir Hossam Eissa mengatakan dengan begitu pemerintah memiliki wewenang lebih besar untuk menindak keras organisasi tersebut.
Keputusan ini diambil setelah bom bunuh diri di markas polisi di Mansoura yang menewaskan 16 orang dan melukai lebih dari 100 orang. Eissa mengatakan dari ujung selatan hingga utara Mesir, merasa 'ngeri dengan kejahatan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin'.
"Ini konteks bahayanya dari ketegangan menuju kekerasan terhadap Mesir dan rakyat Mesir, dan memperjelas kelompok Ikhwanul Muslimin tidak tahu apa-apa selain kekerasan," katanya seperti dikutip BBC.
Sejak saat itu semua pejabat tinggi Ikhwanul Muslimin ditangkap. Human Rights Watch melaporkan sejak Mursi digulingkan terjadi penindakan keras yang dilakukan al-Sisi terhadap pengunjuk rasa, musuh politiknya, jurnalis independen dan pembela hak asasi manusia.
Human Rights Watch mengatakan mereka menemukan penyiksaan di Mesir dilakukan secara sistematik, menyeluruh dan tampaknya melanggar hak asasi manusia.
Pada 2018 organisasi hak asasi manusia Mesir, Egyptian Organization for Human Rights (EOHR) mengatakan Kementerian Dalam Negeri Mesir mengetahui sekitar 500 dari 700 orang yang dilaporkan hilang paksa sedang menunggu persidangan sejak tahun 2015.
Sementara itu sebuah panel pakar dari PBB melaporkan pada November 2019 lalu, kematian Mursi merupakan 'pembunuhan' sewenang-wenang yang disetujui oleh negara.
"Mursi ditahan dalam kondisi yang brutal selama lima tahun masa penahanannya di Kompleks Penjara Tora," ujar Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dalam laporannya.
Kelompok Ikhwanul Muslimin juga meyakini kematian Mursi adalah sebuah pembunuhan. Mursi tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang layak selama di penahanan.
Mursi dituduh melakukan berbagai perbuatan tercela. Mulai dari penghasutan sampai dengan pembunuhan. Mursi dikatakan harus bertanggung jawab atas tewasnya massa demonstrasi kelompok oposisi pada Desember 2012. Ia juga disebut telah membocorkan rahasa negara ke negara lain.
Hingga waktu kematiannya, Mursi tidak pernah mengakui kepemimpinan Sisi. Ia menganggap dirinya sebagai presiden sah Mesir.