REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Beragam respons diperlihatkan masyarakat saat menghadapi situasi pandemi Covid-19. Tidak sedikit dari mereka yang kesulitan beradaptasi di tengah situasi tidak normal ini. Tak sedikit pula yang bersikap acuh atas pengaruh virus baru itu.
Namun, ada pula sebagian masyarakat yang memiliki jiwa sosial dan kepedulian tinggi untuk membantu sesama yang terdampak virus mematikan itu. Salah satunya adalah sosok tenaga medis yang menjabat Kepala Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, dr Asvin Nurulita MKes SpPK (k).
Masa tidurnya yang seharusnya delapan jam setiap hari harus direlakan hanya dua jam sehari sejak pandemi ini mewabah di Kota Daeng Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). "Masa ini memang sangat kompleks. Bikin sedih itu karena waktu kerja sekarang tidak jelas. Saya sekarang hanya punya waktu tidur paling lama dua jam, bahkan di awal munculnya wabah ini saya sampai tidak tidur," katanya, Selasa (16/6).
Menjadi kepala laboratorium di rumah sakit rujukan utama Sulsel itu menjadi amanah besar bagi perempuan asal Kabupaten Soppeng ini. Asvin harus memastikan hasil pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) pasien secara tepat tanpa kekeliruan untuk penentuan status positif atau negatif terhadap Covid-19 meski jam istirahat harus dikorbankan.
"Tidur maksimal setengah jam, satu jam, terus paginya saya harus ke kantor lagi karena kita juga diburu untuk upload data karena begitu kami selesai, saya harus kirim ke kepala dinas," ungkapnya.
Pulang ke rumah setelah bekerja sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB bukan berarti ia harus mengambil waktu beristirahat. Asvin masih harus berjibaku dengan laporan hasil PCR masyarakat di Sulsel yang sebelumnya harus menunggu kiriman hasil uji sampel dari timnya.
Alasannya, agar laporan perkembangan kasus segera disampaikan ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel yang harus segera pula diteruskan ke pemerintah pusat, sebagai dasar penentuan kebijakan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. "Karena saya harus mengontrolnya. Kadang setelah sampai rumah, saya tunggu mereka kerja yang masih menunggu sampel keluar dari alat itu pada pukul 11.00 malam," kata Asvin.
Jika hasil itu tidak ada masalah, tidak menjadi persoalan. Namun, jika ada masalah, semua proses pemeriksaan harus diulang dari awal. "Kadang-kadang mereka menangis ketika mereka kirimkan saya gambar lalu saya interpretasi dan ternyata ada yang keliru karena semua harus diulang dari awal," ucap ibu dua anak ini.
Pengorbanan ini, menurut dia, harus dilakukan karena ada komitmen ingin menyelesaikan kasus ini dengan cepat dan tepat. Keterlambatan mengerjakan sampel dipastikan akan berdampak pada semuanya; penyebaran virus akan makin meluas dan malah tidak bisa dikontrol.
Sorotan masyarakat terhadap pasien Covid-19 menjadi hal yang disayangkan Asvin kendati hal ini sekaligus berubah menjadi motivasi tersendiri baginya untuk sangat berhati-hati mengerjakan sampel, lalu menentukan status. Hal ini pula yang menjadikan dr Asvin harus menguras waktu, tenaga, dan kebersamaan dengan suami maupun kedua anaknya demi memastikan hasil pemeriksaan PCR tepat tanpa kesalahan.
Dengan mata berkaca-kaca, perempuan kelahiran 22 Agustus 1978 ini mengisahkan hanya bisa menyapa singkat anak-anaknya pada pagi hari sebelum ke kantor dan malam hari setiba di rumah. Jaraknya pun tentu ia batasi, sebagai orang yang berisiko bisa menularkan virus itu. Karena itu, masuk kamar dan tidak keluar lagi menjadi rutinitas yang mulai dimaklumi anak-anaknya.
Asvin sadar posisinya saat ini mengharuskannya selalu hadir bagi 24 orang stafnya yang tergabung dalam tim uji sampel Covid-19. Hal ini pula yang mengakibatkan dirinya harus rela kehilangan berat badannya sebanyak 12 kilogram dalam dua bulan terakhir.