REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Perdebatan seputar status Hagia Sophia kembali mencuat. Museum yang awalnya dibangun sebagai gereja sebelum diubah menjadi masjid oleh Kesultanan Utsmaniyah itu, kembali jadi tema panas yang menyeruak ke tengah pergulatan antara kelompok konservatif dan pegiat toleransi.
Kini Patriark Konstantinopel dari Gereja Apostolik Armenia, Sahag II. Mashialan, mengusulkan agar umat Muslim dan Kristen diberikan kesempatan yang sama beribadah di sana. Menurut pemimpin spiritual umat Kristen Armenia di Turki itu, Hagia Sophia memiliki ruangan yang “cukup luas“ untuk menampung kedua umat beragama.
“Mari kita jadikan ini sebagai simbol perdamaian bagi kemanusiaan,“ tulisnya lewat Twitter.
Namun berbeda dengan kelompok oposisi yang ingin mempertahankan status museum, Mashialan menilai doa dan sholat lebih cocok untuk Hagia Sophia ketimbang turis-turis yang berlarian untuk membidik foto.
AKP kampanyekan Hagia Sophia sebagai masjid
Kisruh teranyar berawal Mei silam saat pemerintah mengizinkan lafal Alquran surat al-Fath dikumandangkan di dalam Hagia Sophia untuk memperingati pendudukan Konstantinopel oleh tentara Utsmaniyah, 567 tahun lalu. Usulan tersebut sebelumnya sudah dikampanyekan oleh organisasi konservatif Islam, Serikat Pegawai Yayasan Keagamaan (Diyanet Bir-Sen).
Partai pemerintah, AKP, juga sudah sejak lama melobi agar status Hagia Sophia diubah menjadi masjid. Pada 2015, pemerintah Turki menggelar acara keagamaan di Hagia Sophia, yang pertama sejak 80 tahun terakhir.
Hagia Sophia yang berarti “Kearifan Suci“ dalam bahasa Yunani itu dibangun oleh Kekaisaran Byzantium sebagai gereja terbesar di dunia saat itu. Namun, statusnya diubah Utsmaniyah menjadi masjid usai pendudukan Konstantinopel, dan berujung menjadi sebuah museum atas desakan Mustafa Kemal Ataturk pada 1935.
Pada 2019, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan adalah sebuah kesalahan besar mengubah (Hagia Sohpia) menjadi museum. Dia pun berjanji akan mengembalikan fungsi bangunan bersejarah tersebut sebagai masjid. Saat ini, status Hagia Sophia bergantung pada keputusan Danıştay, pengadilan administrasi tertinggi di Turki, yang bakal diumumkan 2 Juli mendatang.
Picu ketegangan internasional
Tarik ulur seputar Hagia Sophia juga mulai merambah ke ranah diplomasi. Lembaga fatwa al-Azhar, Dar al-Ifta, Ahad (10/6) mengkritik Presiden Erdogan ingin menggunakan agama untuk memperluas ”ambisi kolonialnya” di luar negeri.
“Hagia Sophia dibangun sebagai gereja pada 537 dan bertahan selama 916 tahun sebelum Utsmaniyah menduduki Istanbul pada tahun 1453,” tulis para ulama dalam fatwanya seperti dilansir Aljazirah.
Yunani termasuk yang paling vokal menyuarakan kritik terhadap rencana Erdogan perihal Hagia Sophia. Bangunan bersejarah itu sempat menjadi pusat Gereja Ortodoks Yunani.
Gereja Ortodoks Rusia juga mewanti-wanti, langkah itu akan memicu ketegangan agama. Namun pemerintah di Ankara bersikeras, isu tersebut merupakan masalah kedaulatan nasional milik Turki. “Kasus ini tentu bukan isu internasional,“ kata Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu.
Dia mengeluhkan adanya lingkaran tertentu yang melawan Turki dan tidak bisa mengerti siapa yang memiliki Hagia Sophia atau bahkan Istanbul, 567 tahun setelah perebutan kembali oleh Ustmaniyah.
"Apa yang penting adalah apa yang diinginkan rakyat Turki," ujar Menlu Cavusoglu.
Sumber: https://www.dw.com/id/hagia-sophia-diusulkan-jadi-rumah-ibadah-kristen-dan-islam/a-53826335