REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwina Agustin, Puti Almas, Lintar Satria, Dadang Kurnia.
Upaya untuk terus mencari pengobatan bagi Covid-19 mendapat titik terang dari temuan Oxford University. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun memuji hasil uji klinis dexamethasone yang dilakukan oleh Oxford, Selasa (16/6). Temuan ini menjadi berita besar yang bisa membantu menyelamatkan nyawa pasien Covid-19 yang sakit kritis.
"Ini adalah pengobatan pertama yang ditujukan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan Covid-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator," ujar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam sebuah pernyataan.
Ghebreyesus pun menyampaikan ucapan selamat bagi pemerintah Inggris, Oxford University, dan banyak rumah sakit dan pasien di Inggris yang telah berkontribusi pada terobosan ilmiah tersebut. Upaya ini akan membantu menyelamatkan nyawa banyak orang di seluruh dunia karena obat tersebut mudah ditemukan dan berharga terjangkau.
WHO telah menerima hasil awal dari uji coba yang dilakukan Oxford University. Ghebreyesus mengatakan, lembaga yang berada dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa ini pun sedang menantikan analisis data lengkap dalam beberapa hari mendatang.
"WHO akan mengoordinasikan meta-analisis untuk meningkatkan pemahaman kita secara keseluruhan tentang intervensi ini. Pedoman klinis WHO akan diperbarui untuk mencerminkan bagaimana dan kapan obat harus digunakan dalam Covid-19," ujar Ghebreyesus, dikutip dari Reuters.
Pada Selasa (16/6), para ilmuwan dari Oxford University, Inggris, mengatakan berdasarkan uji coba, obat dexamethasone ditemukan mengurangi tingkat kematian sebesar 35 persen untuk pasien Covid-19 dalam kondisi kritis dan membutuhkan ventilator untuk alat bantu napas. Sementara, 20 persen pasien lainnya yang mengalami kondisi mendekati kritis juga demikian.
"Apa yang kamu lihat benar-benar luar biasa," ujar Peter Horby, selaku akademisi yang terlibat dalam penelitian, dilansir VOA, Rabu (17/6).
Kepala petugas medis Inggris, Chris Whitty mengatakan hasil dalam uji coba terbaru menjadi yang paling penting untuk Covid-19. Para ilmuwan di seluruh dunia telah berlomba untuk menemukan pengobatan penyakit infeksi virus corona jenis baru tersebut, yang menjadi pandemi global sejak awal tahun ini.
Dexamethasone adalah steroid generik yang telah digunakan selama 60 tahun untuk mengurangi peradangan dari berbagai kondisi lain, termasuk radang sendi dan asma. Harga obat ini terjangkau di banyak negara dunia, biasanya bernilai satu dolar AS untuk per dossi.
Ilmuwan Oxford menguji dexamethasone sebagai bagian dari upaya kolektif di seluruh dunia oleh laboratorium komersial, perusahaan farmasi dan universitas untuk obat-obatan yang ada untuk melihat apakah ada yang dapat bekerja untuk Covid-19
"Ini adalah satu-satunya obat yang sejauh ini terbukti mengurangi angka kematian secara signifikan," jelas Horby.
Dalam studi Oxford 2.104 pasien diberi obat dan 4.321 tidak dengan hasil yang dibandingkan. Universitas mendaftarkan lebih dari 11.500 pasien secara keseluruhan untuk menguji obat yang ada, menjadikannya sebagai uji klinis terbesar di dunia.
Tim peneliti dari Oxford University juga mengatakan jika dexamethasone telah digunakan lebih cepat di Inggris bisa menyelamatkan sekitar 5.000 dari lebih dari 40.000 warga di negara itu, yang sejauh ini meninggal karena Covid-19. Mereka menilai pasien harus diberi obat tersebut tanpa penundan.
Tetapi satu yang perlu diperhatikan adalah dexamethasone tidak membantu pasien Covid-19 dengan gejala yang lebih ringan dan tak memiliki masalah pernapasan. Sementara, obat lainnya yang telah terbukti menunjukkan manfaat terhadap pasien dengan kondisi yang parah adalah remdesivir, obat anti-virus yang diciptakan untuk melawan Ebola, yang dapat mengurangi durasi gejala yang buruk.
Pejabat kesehatan pemerintah Pakistan mengatakan negaranya akan mempertimbangkan menggunakan obat yang ditemukan peneliti Inggris. Hal ini disampaikan saat jumlah kasus kematian harian Covid-19 di Pakistan menyentuh angka tertingginya.
Penasihat perdana menteri Pakistan dalam isu kesehatan Zafar Mirza melaporkan ada sebanyak 136 pasien Covid-19 yang meninggal dunia pada Rabu (17/6). Demi menahan laju penyebaran pemerintah Pakistan sudah menutup titik-titik wabah paling parah di negeri itu.
Sementara jumlah kasus infeksi bertambah 5.839 kasus, sehingga totalnya menjadi 154.760 kasus dan sebanyak 2.975 pasien diantara meninggal dunia.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan, obat itu merupakan terobosan terbesar dalam mengobati Covid-19. Pakar penyakit menular Amerika Serikat (AS) Anthony Fauci menyebutnya ini menjadi peningkatan signifikan dalam pilihan perawatan pasien virus corona.
Inggris membuat dexamethasone tersedia untuk pasien di Layanan Kesehatan Nasional (NHS). Departemen Kesehatan Inggris mengatakan, obat itu telah disetujui untuk mengobati semua pasien Covid- 19 yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, yang efektif segera. Inggris dikabarkan telah memiliki pasokan cukup untuk merawat 200 ribu pasien, dilansir dari AP.
Di Indonesia upaya menemukan obat bagi Covid-19 juga terus dilakukan. Tim peneliti Universitas Airlangga (Unair), Surabaya mengatakan menemukan lima kombinasi regimen obat yang diklaim efektif lawan virus corona.
Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga, dr Purwati, menjelaskan, kombinasi obat temuannya terdiri atas Lopinavir/ritonavir dengan azithromicyne; Lopinavir/ritonavir dengan doxycyline; Lopinavir/ritonavir dengan chlaritromycine; Hydroxychloroquine dengan azithromicyne; dan Hydroxychloroquine dengan doxycycline. Regimen kombinasi obat Covid-19 tersebut, kata dia, tidak untuk diperjualbelikan secara bebas.
"Belum diperjualbelikan. Ini kolaborasi antara Unair, BNPB, dan juga Badan Intelijen Negara," kata Purwati saat dikonfirmasi, Senin (15/6).
Kombinasi regimen obat tersebut diakui Purwati memiliki potensi dan efektivitas cukup bagus terhadap daya bunuh virus. Dosis setiap obat dalam kombinasi tersebut adalah 1/5 dan 1/3, lebih kecil dibandingkan dosis tunggalnya, sehingga mengurangi efek toksik dari obat tersebut bila diberikan sebagai obat tunggal.
“Kini sudah ada ratusan obat yang sudah diproduksi dan akan disebarkan kepada rumah sakit yang membutuhkan,”ujar Purwati.
Selain mendapatkan regimen kombinasi obat, tim peneliti Unair juga menemukan potensi dalam penelitian stem cell. Menurut Purwati, pihaknya menemukan dua formula, yaitu Haematopotic Stem Cells (HSCs) dan Natural Killer (NK) Cells.
“Dari hasil uji tantang HSCs ditemukan bahwa setelah 24 jam virus SARS-CoV-2 isolat Indonesia sudah dapat dieliminasi oleh stem cells tersebut. Sedangkan, hasil uji tantang NK Cells terhadap virus, setelah 72 jam didapatkan sebagian virus dapat diinaktivasi oleh NK Cells tersebut,” ujarnya.