REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Pengembangan sektor pertanian menjadi salah satu andalan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tidak hanya padi, namun produksi sektor pertanian Indonesia juga kini cukup beragam.
Salah satunya potensi pengembangan tanaman pangan ubi jalar. Di awal 2020 ini keberadaanya mencuat dengan hadirnya organisasi Asosiasi Agrobisnis Petani Ubi Jalar Indonesia (Asapuji) pada Maret 2020 lalu.
Praktisi pertanian Ahmed Joe Hara terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Agrobisnis Petani Ubi Jalar Indonesia (Asapuji) dan mulai bergerak menggencarkan ubi jalar sebagai solusi untuk meningkatkan penghasilan petani karena mempunyai potensi besar berorientasi ekspor. ''Upaya promosi pemerintah harus ditingkatkan dalam mendorong warga bahwa ubi jalar dapat menjadi makanan alternatif selain beras,'' ujar Ketua Asapuji Ahmed Joe Hara kepada Republika di Sukabumi, Rabu (17/6).
Hal ini untuk meningkatkan daya minat konsumsi masyarakat dalam mengonsumsi makanan berbahan baku ubi. Ahmed Joe Hara mengatakan, orang Korea mengenal ubi jalar itu lebih awal dari Indonesia sejak abad ke X.
Mereka menilai ubi jalar mengandung banyak vitamin dan berkhasiat untuk awet muda. Informasi ini diperolehnya karena pengalaman bekerja dengan warga Korea pada saat pengembangan pabrik olahan ubi yakni pati di Cirebon, Jawa Barat pada 2009 lalu.
Perkenalan dengan ubi ini diawali Ahmed Hoe Hara ketika pada 2004 kedatangan investor Korea ke Kabupaten Kuningan yang dikenal sebagai sentra ubi di Indonesia. Dari sanalah Ahmed Joe Hara membeli ubi dan mengetes beberapa produk pertanian dengan olahan ubi di lembaga penelitian produk pertanian Kementerian Pertanian di Cianjur. Hasilnya ternyata banyak kandungan ubi yang menguntungkan tubuh.
Selanjutnya pada 2008, Ahmed membuat tepung pati dari ubi dan dimasukkan ke media Alibaba.com. Postingannya tersebut direspons oleh warga Korea yang seminggu kemudian datang ke Indonesia.
Di mana akhirnya warga Korea tersebut membuat pabrik di Cirebon dan Ahmed Joe Hara menjadi general manager serta mempersiapkan mulai dari membuat mesin dan gudang pada 2009. Nilai investasi dari pembangunan pabrik itu hampir Rp 6 miliar dan ekspor pertama tepung ubi, di mana dalam sebulan enam kontainer produk pati ubi dan berlangsung sampai 2014.
Namun karena kendala perluasan tanam ubi seluas 500 hektare maka operasional berhenti. Selanjutnya Ahmed Joe Hara mengembangkan sendiri tanaman ubi di di Desa Tenjojaya, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Puncaknya lanjut Ahmed pada medio Januari 2020 Dirjen Tanaman Pangan Kementan memberikan perhatian pada sektor ubi dan mendorong lahirnya asosiasi pelaku agribisnis ubi jalar. Dalam asosiasi ini ada sebanyak 80 orang pelaku pertanian ubi jalar mulai dari Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara.
''Setelah terbentuk, program yang akan digenjot adalah ekspor kalau tidak tak akan maju,'' kata Ahmed Joe Hara. Bentuk ekspor dalam bentuk fresh ubi Cilembu, pati dan pasta atau getuk
Menurut Ahmed, ia juga akan membuat pasta ubi dalam kemasan sebagai makanan sarapan dengan mesin pencetak. Kini Asapuji tengah mengajukan bantuan kepada pemerintah terkait mesin baik pasta dan pati ubi jalar.
Di sisi lain Ahmed Joe Hara mengatakan, sentra ubi jalar memang terdapat di Kuningan. Namun Cianjur dan Sukabumi sebagai terluas se pulau Jawa mempunyai potensi karena terdapat banyak tanah tegalan.
Ahmed Joe Hara menuturlan, intinya ubi mempunyai dua sisi memberi penghasipan tambahan kepada petani dan akan meningkatkan ekspor ketika didiorong. Sehingga akan bertambah penghasilan masyarakat tanah tegalan di daerah selatan Sukabumi.
Namun saat ini belum terhubung antara keinginan market atau pasar dengan petani dan pemerintah. Dalam artian ubi jalar paling kecil mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Padahal ekspo per ubi jalar sebulan 1.000 ton dan setahun 12 ribu ton. Pasar produk olahan ubi yakni Korea dan Jepang. Sementara ubi Cilembu yakni Taiwan, Hongkong dan Singapura.
Dari sisi harga Ubi Cilembu ekspor Rp 11 ribu per kilogram dan kalau lokal Rp 5 ribu per kilogram. Di mana HPP ubi jalar per hektare Rp 2 ribu per kilogram.
Perhitungannya dari hasil panen 12 ton per hektare dikali harga Rp 2 ribu per kilogtram menjadi Rp 24 juta. Hasil ini menutupi biaya pertanian mulai dari bibit, penanaman, penyiangan, pupuk dan panen.
''Dari data ini ubi jalar potensial sebagai solusi ekonomi di tanah tegalan dan jadi percontohan,'' imbuh Ahmed. Selain itu solusi untuk menjadikan ubi jalar makanan alternatif dalam meningkatkan penghasilan petani tegalan.