Rabu 17 Jun 2020 21:59 WIB

Sebelum New Normal, Tinjau Ulang Pelonggaran PSBB

Pelonggaran PSBB dirasa justru menempatkan rakyat ke kondisi bahaya.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Gamping Ahmad Faesol dan Ketua Badan  Pengurus Harian RS PKU Muhammadiyah Gamping Zamroni meresmikan Gedung  Penunjang dan Pembukaan Bangsal Perawatan At-Tin, di RS PKU Muhammadiyah  Gamping, Sleman.
Foto: Republika/Neni Ridarineni
Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Gamping Ahmad Faesol dan Ketua Badan Pengurus Harian RS PKU Muhammadiyah Gamping Zamroni meresmikan Gedung Penunjang dan Pembukaan Bangsal Perawatan At-Tin, di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Masyarakat Indonesia kini terus bersiap menghadapi new normal. Padahal, tidak cuma kebijakan untuk menerapkan new normal di Indonesia, kebijakan untuk pelonggaran PSBB saja dirasa masih perlu ditinjau ulang.

Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) PWM DIY, dr Ahmad Faesol merasa, kebijakan yang diambil pemerintah menangani pandemi Covid-19 belum maksimal. Ini ditandai lonjakan kedua setelah pelonggaran PSBB yang baru dilakukan.

"Begitu pentingnya perencanaan yang matang, perlunya kejelasan pemerintahan dalam membuat kebijakan," kata Faesol dalam diskusi bertajuk Persiapan Fisik dan Mental Menyambut Tatanan Kehidupan Baru yang digelar PP Muhammadiyah.

Direktur RS PKU Muhammadiyah Gamping itu melihat, pelonggaran PSBB menambah jumlah kasus dan memperpanjang masa pandemi. Walau berdalih pengembangan ekonomi, pelonggaran dirasa justru menempatkan rakyat ke kondisi bahaya.

"Tren virus saat ini tidak menunjukkan gejala secara fisik pada seseorang, sehingga dengan adanya pelonggaran PSBB sangat membuka peluang penyebaran virus dari satu orang ke banyak orang lainnya," ujar Faesol.

Dia menilai, seharusnya pemerintah meninjau ulang apakah Indonesia sudah memenuhi syarat-syarat pelonggaran PSBB itu sendiri. Yang mana mencakup banyak kondisi seperti transmisi Covid-19 yang sudah dapat dikendalikan.

Lalu, pusat kesehatan masyarakat yang mumpuni mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak dan mengkarantina. Selain itu, peninjauan resiko wabah yang bisa diminimalkan lewat kebijakan ketat dan pencegahan masif di tempat kerja.

Untuk itu, dia berharap, masyarakat tanggapi new normal menjadi new reality. Masyarakat harus memandang realitas pandemi dan mengubah pola hidup agar dapat bertahan, salah satunya memunculkan pikiran positif agar beradaptasi.

Kemudian, mulai mencoba produktif, menerima perubahan dan menumbuhkan kesadaran kepada pola hidup sehat. Selain itu, penuhi perlengkapan diri dalam menjaga keselamatan diri dan orang lain.

"Tentunya, dengan menambah wawasan edukasi kesehatan sehubungan dengan Covid-19," kata Faesol.

Koordinator Divisi Diseminasi Informasi dan Komunikasi MCCC, Budi Santoso menambahkan, dalam mendukung penanganan Covid-19 Muhammadiyah tidak memakai istilah new normal. Tapi, menggunakan istilah progresif tanggap darurat.

"Muhammadiyah terus mendorong kepada upaya-upaya stay at home ke masyarakat, khususnya jamaah Muhammadiyah, tidak ada kondisi new normal dan transisi, tapi tanggap darurat," ujar Budi.

Meski begitu, lewat MCCC, Muhammadiyah terus melakukan diseminasi informasi terkait Covid-19 di berbagai program. Di antaranya Sikuvid dan Sikevid yang jadi perangkat mengukur kesiapan mental menghadapi Covid-19. "Serta, mengukur seberapa kuat imunitas tubuh kita," kata Budi. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement