Rabu 17 Jun 2020 22:21 WIB

Hukum Meminjam Barang Tanpa Imbalan

Peminjam wajib mengembalikan dan menanggung kerusakan barang yang dipinjamnya.

Rep: Ferry Kishihandi/ Red: Muhammad Hafil
Hukum Meminjam Barang Tanpa Imbalan. Foto ilustrasi: Warga saat akan meminjam sepeda dengan layanan bike sharing di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Selasa (6/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Hukum Meminjam Barang Tanpa Imbalan. Foto ilustrasi: Warga saat akan meminjam sepeda dengan layanan bike sharing di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Selasa (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Anas menceritakan sebuah peristiwa. Suatu saat di Madinah warga merasakan suasana ketakutan akan kedatangan musuh. Rasul bergegas untuk melihat keadaan atas kemungkinan datangnya musuh. Kepada Abu Thalhah ia meminjam kuda bernama al-Mandub dan memacunya untuk mengawasi keadaan.

Setelah kembali, beliau mengabarkan tak ada sesuatu yang mencurigakan. "Yang kami temukan hanyalah kuda yang berlari kencang," jelasnya.  Ulama terkenal Sayyid Sabiq mengatakan, meminjamkan kuda seperti yang dilakukan oleh Thalhah yang disebut dengan istilah ariyah merupakan sebuah bentuk kebajikan.

Baca Juga

Kebajikan seperti itu,  tentunya tolong-menolong dalam kebaikan dianjurkan dalam Islam. Muslim memperoleh perintah dari Allah SWT melalui kitab suci untuk tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan tidak saling menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

Menurut pakar fikih, ariyah ialah bentuk peminjaman barang dengan izin pemilik kepada orang lain untuk mengambil manfaat barang itu tanpa imbalan. Akad peminjaman, ujar Sabiq, berlaku dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan makna meminjam.

Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengatakan, ada beberapa syarat berlangsungnya ariyah. Orang yang meminjamkan benar-benar pemilik yang berhak memberikan pinjaman kepada orang lain. Barang yang dipinjamkan, dapat diambil manfaatnya tanpa mengalami perubahan.

Manfaat dari barang yang dipinjamkan, kata dia, tak bertentangan dengan ajaran agama. Menurut Abu Hanifah dan Malik, peminjam boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya kepada orang lain walaupun pemiliknya tidak mengizinkannya. Asal barang tersebut tak mengalami perubahan.

Ulama yang menganut Mazhab Hanbali berpandangan,  waktu kesepakatan peminjaman suatu barang telah terjadi, si peminjam boleh memanfaatkannya sendiri barang yang dipinjamnya atau bisa juga oleh orang lain yang menduduki posisinya sebagai peminjam.

Mereka berbeda pendapat dengan Abu Hanifah dan Malik, sebab mereka tak mengizinkan peminjam meminjamkan atau menyewakan barang yang dipinjamnya kepada orang lain tanpa izin dari pemilik barang. Bila terjadi dan  barang itu rusak di tangan peminjam kedua, pemilik boleh meminta ganti rugi.

Tuntutan ganti rugi bisa dilayangkan kepada peminjam kepada siapa pun di antara keduanya.  Ulama Mazhab Hanbali mengatakan, tanggung jawab untuk mengganti barang yang rusak ada pada diri peminjam kedua. Alasannya, di tangannyalah barang yang dipinjam itu rusak.

Sementara itu, orang yang memberi pinjaman alias pemilik barang, ujar Sabiq, dapat mengambil barangnya kapan saja selama tak menyulitkan peminjam. Seandainya langkahnya itu menyulitkan, mestinya pengambilan barang ditunda hingga kesulitan sirna.

Sayyid Sabiq menambahkan, suatu barang yang bermanfaat bagi orang yang meminjam dan tak merugikan peminjam maka peminjam mestinya mengizinkan barangnya dipinjam. Saat peminjam menolak, hakim diminta bantuannya untuk memaksanya.

Kasus ini pernah terjadi. Dhahhak bin Qais membuat saluran air dan ingin agar melewati tanah Muhammad bin Masalamah. Sayangnya, Muhammad melarangnya. Dhahhak menanyakan hal ini kepada Muhammad padahal saluran air itu juga mengaliri tanah Muhammad. Bukan kerugian yang dia terima.

Muhammad tetap tak bersedia dan membuat Dhahhak mengadukan peristiwa ini kepada Umar bin Khattab. Tetap saja Muhammad menolak tetapi Umar bersikeras dengan pendapatnya. Akhirnya, saluran air Dhahhak melewati tanah Muhammad bin Maslamah.

Selanjutnya, peminjam wajib mengembalikan barang yang dipinjamnya setelah selesai mengambil manfaatnya. Abu Umamah mengisahkan bahwa Rasulullah pernah menyatakan, "Pinjaman harus dikembalikan." Demikian hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Turmudzi.

Di samping itu, peminjam yang telah menerima barang yang dipinjam dari pemiliknya dituntut bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi terlepas apakah disebabkan kelalaian atau bukan. Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan peminjam tak bertanggung jawab kecuali dia berlaku lalai.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement