REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Secara bahasa, dakwah berarti menyeru atau mengajak. Dakwah bisa dilakukan dengan perkataan dan perbuatan dalam beragam media. Tujuan dakwah adalah untuk mengajak manusia kepada kebaikan dan perbaikan. Secara antropologis, kegiatan dakwah melibatkan manusia, baik yang berdakwah (da’i) maupun yang didakwahi (mad’u).
Di dalam Alquran, orang yang berdakwah dijanjikan beroleh banyak pahala. Misalnya, “Serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (QS. al-Hajj/22: 67). Yang dimaksud dengan jalan yang lurus dalam ayat ini, menurut pengarang Tafsir Jalalain, adalah agama yang lurus, yakni Islam.
Lebih lanjut, bagi Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, agama Islam adalah agama para nabi, sidiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Secara praksis, memang orang yang berdakwah meneruskan kerja mereka untuk mengajarkan akidah, ibadah, dan akhlak. Maka tak heran kalau balasan untuk ini adalah berada pada agama yang lurus.
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah (argumen) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf/12: 108). Lagi-lagi balasan berdakwah, secara otomatis, terhindar dari kemusyrikan.
Secara kontekstual, ayat ini membuktikan bahwa berdakwah menjadi tugas bersama. Allah SWT menegaskan, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran/3: 104).
Orang-orang yang beruntung, menurut Syaikh Nawawi Banten, adalah orang-orang yang diberi keistimewaan. Dalam Tafsir Munir, beliau mengutip sabda Nabi SAW tentang balasan orang yang berdakwah, yakni “Dia menjadi khalifah Allah di bumi, khalifah rasul-Nya, dan khalifah kitab-Nya.” Khalifah adalah pengganti Allah SWT, rasul dan kitab-Nya di bumi.
Lebih tegas lagi, di dalam Alquran orang beruntung adalah yang memberi nasihat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-Ashr/103: 2-3).
Secara sosio-historis, para nabi berdakwah tak kenal lelah. Terurai indah dalam Alquran, misalnya, “Nuh berkata, “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah mendakwahi (menyeru) kaumku malam dan siang.” (QS. Nuh/71: 5). Kendati begitu Nabi Nuh tidak berhasil mengajak kaumnya, bahkan mereka malah kabur meninggalkan kebenaran.
Tak heran kalau satu waktu Nabi SAW memotivasi Ali bin Abi Thalib dalam berdakwah, “Demi Allah, sesungguhnya Allah memberikan hidayah kepada seseorang dengan (dakwah) mu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Unta merah saat itu adalah unta yang berbadan tinggi dan besar serta berharga mahal.
Tak hanya itu, orang yang berdakwah juga akan didoakan oleh para penghuni langit dan bumi. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Turmudzi).
Saatnya kita merenung. Berkat kerja dakwah orang sebelum kita yang memperkenalkan Allah SWT, Muhammad SAW, dan Alquran, hari ini kita merasakan nikmatnya hidup dalam Islam. Pertanyaannya adalah, proyek dakwah apa yang saat ini sedang kita garap untuk generasi mendatang yang penuh tantangan multidimensi nanti?