Kamis 18 Jun 2020 08:15 WIB

Legislator Nilai RUU HIP Khianati Para Pendiri Bangsa

RUU HIP telah mendegradasikan harkat dan martabat Pancasila

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Netty Prasetiyani Heryawan
Foto: Edi Yusuf/Republika
Netty Prasetiyani Heryawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani Heryawan menilai, Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) telah mendegradasikan harkat dan martabat Pancasila. Bahkan, disebut sebagai upaya untuk melegalkan paham komunisme di Indonesia. Setidaknya ada satu pasal yang banyak dikritik yaitu Pasal 7 yang memiliki tiga ayat.

"Ayat pertama, ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan," ujar Netty dalam siaran persnya, Rabu (17/6).

Kemudian ayat kedua, ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Serta ayat ketiga, trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

Kata Netty, pasal ini mengindikasikan bahwa yang menjadi rujukan dalam pembahasan RUU HIP adalah  Pancasila 1 Juni 1945, bukan Pancasila  yang dimaksud dan tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 sebagai hasil konsensus sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 

"Jadi RUU ini menghianati kesepakatan para pendiri bangsa dengan memeras  Pancasila menjadi  trisila dan ekasila. Artinya kita kembali mengulang perdebatan yang seharusnya sudah final yakni Pancasila dengan lima sila. Kita mundur lagi ke belakang dan mendistorsi Pancasila itu sendiri," ungkap Netty.

Selain pasal 7 yang bermasalah, Netty juga menyoroti tidak dimasukkannya TAP MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran paham Komunisme di Indonesia dalam RUU HIP. Jadi wajar jika banyak pihak yang menduga adanya penyusupan kepentingan politik tertentu untuk melegalkan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia yang sudah dilarang melalui TAP MPRS XXV/1966.

Menurut Netty, Fraksi PKS sudah dua kali memberikan catatan ini baik pada draft tanggal 9 April dan draft 22 April kepada pimpinan Badan Legislasi (Baleg) untuk memasukkan ketentuan terkait TAP MPRS ini kedalam ketentuan mengingat dari RUU Haluan Ideologi Negara. Namun sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dimasukkan.

"Pancasila itu terpatri dalam pola pikir, olah jiwa dan pola tindak masyarakat Indonesia sejak zaman nenek moyang. Pancasila wujud dalam setiap denyut nadi dan tarikan nafas bangsa Indonesia," tegasnya.

Pancasila bukan sekedar kata-kata dalam teks buku, sambung Netty. Jadi, menafsirkan Pancasila melalui UU hanya akan merendahkan nilai-nilai luhurnya dan membuatnya menjadi sempit dan terkungkung. Menempatkan Pancasila sebagai norma biasa yang penafsirannya dimonopoli. Sehingga berpotensi jadi alat menyudutkan pihak yang berlawanan sebagaimana dulu saat menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.

Netty juga mempertanyakan urgensi dibentuknya kementerian/badan kependudukan dan keluarga nasional untuk menjamin terlaksananya HIP sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 38 ayat (2) RUU HIP. Pembentukan lembaga tersebut tidak tepat, karena negara sudah memiliki Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang berada dibawah Presiden.

"Harusnya ini sudah cukup dan tidak perlu membentuk kementerian atau badan baru ditengah semangat efesiensi yang disuarakan oleh Presiden Jokowi," tutup Netty. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement