REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak tahun ini diharapkan mampu berperan sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang ekonominya terdampak pandemi Covid-19. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan, pilkada memang melibatkan banyak pihak di daerah.
"Prosesnya juga akan membutuhkan berbagai atribut dan perlengkapan pemilu yang diharapkan akan mendukung UMKM," kata Tito dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Rabu (17/6).
Tito merinci, pilkada serentak akan digelar di 270 wilayah dengan 304.000 TPS. Setiap satu TPS saja, dibutuhkan petugas kurang lebih 10 orang. Artinya, keseluruhan penyelenggaraan pilkada akan menyerap lebih dari 3 juta personel.
"Orangnya 3 juta lebih, 60 persen anggaran Rp 14 triliun lebih dari APBD maupun APBN itu digunakan untuk insentif penyelenggara sebanyak 3 juta itu tadi," ujarnya.
Dengan demikian, menurut Tito, pilkada bisa berfungsi sebagai program padat karya yang memberdayakan berbagai lapisan masyarakat. Para personel KPU di daerah serta personel yang terlibat dalam setiap TPS diyakini akan menerima manfaatnya. Hal ini tentu sangat berarti di tengah pandemi Covid-19 yang berimbas pada ekonomi rumah tangga masyarakat.
"Artinya real ini adalah program padat karya. Yang kemudian sama saja memberikan bantuan kepada petugas-petugas TPS yang ada di bawah 3 juta tapi kerja dulu selama 6 bulan. Mulai Juni sampai Desember," jelas Tito.
Selain itu, 40 persen dari alokasi anggaran pilkada akan digunakan untuk belanja barang pendukung proses pemilihan. Ditambah lagi dengan adanya pandemi Covid-19, maka belanja barang akan menyasar produk-produk pelindung diri, seperti masker, handsanitizer, dan produk lain untuk menunjang perlindungan petugas dan masyarakat.
"Kita harapakan 40 persen anggaran yang Rp 14 triliun lebih ini, ini akan menstimulasi ekonomi di daerah. Terutama UMKM, mikro dan ultra mikro. Jadi kita memiliki apa manfaat ganda. kata Tito.
Tito juga memastikan, pilkada serentak tahun 2020 tidak akan mengganggu penanganan Covid-19. Alasannya, keduanya sudah memiliki pos anggaran masing-masing. Bahkan Tito menyebutkan bahwa status sisa anggaran pilkada, sebesar Rp 9,1 triliun, dibekukan penggunaannya sejak penanganan Covid-19 berjalan.
"Di-freezed. Tidak boleh digunakan. Termasuk tidak boleh digunakan untuk Covid-19. Karena apa? Karena ada pos-pos yang lain," ujarnya.
Pemerintah, jelas Tito, ingin memastikan seluruh agenda penting tetap berjalan. Pilkada berjalan dan tentunya penanganan Covid-19 tetap berjalan. Bagi pemerintah pilkada memiliki arti penting karena 270 kepala daerah segera berakhir masa tugasnya.
"Kita ingin kepala daerah yang memimpin adalah kepala daerah yang dipilih rakyat agar legitimasinya kuat. Bukan kepala daerah yang di PLT-kan atau di-penjabat sementara-kan oleh Kemendagri," ujarnya.