REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) memantau perkembangan pasar halal dunia. KNEKS mendapati negara-negara yang berpenduduk mayoritas bukan Muslim justru berlomba meningkatkan kapasitas di pasar halal.
Hal tersebut disampaikan Direktur Bidang Pengembangan Ekonomi Syariah & Industri Halal KNEKS Afdhal Aliasar dalam seminar virtual yang diadakan Universitas Maarif Hasyim Latif (Umaha) pada Kamis (18/6).
Afdhal menilai perlunya peningkatan kesadaran gaya hidup halal di Tanah Air. Selama ini, ia menduga banyak Muslim beraktivitas dengan asumsi memenuhi aspek halal pada tiap produk. Padahal belum tentu semua produk asli Indonesia berlabel halal.
"Halal bukan suatu yang biasa saja, banyak beranggapan dalam kegiatan sehari-hari berasumsi apa yang dimakan dan kegiatan ekonominya sudah halal padahal mungkin belum," kata Afdhal.
Afdhal merasa miris ketika label halal bukan prioritas produsen nasional. Padahal langkah sebaliknya dilakukan negara bermayoritas non-Muslim. Labelisasi halal pada produk kini menjadi tren bisnis bukan sekedar memenuhi aspek agama saja.
"Jepang dan Korea Selatan lihat potensi Muslim banyak, maka ada parwisata, restoran halal. Ini bukan sekedar agama tapi potensi ekonomi yang harus dimanfaatkan," ujar Afdhal.
Peningkatan jumlah Muslim di suatu negara mau tak mau membuka peluang kebutuhan produk halal. Di dunia, jumlah Muslim dan ekonominya berkembang. Hal tersebut sampai bisa memengaruhi gerakan ekonomi suatu negara.
Afdhal memandang harusnya momentun ini dimanfaatkan produsen Indonesia. Citra Indonesia sebagai negara mayoritas Islam harusnya membuat kepercayaan konsumen dunia naik.
"Muslim dunia cari produk halal, ini peluang Indonesia. Dari segi fesyen Indonesia mungkin juara tapi untuk makanan minuman halal, belum. Untuk masuk ke pasar Eropa dan Timur Tengah butuh dorongan lagi," ucap Afdhal.