Kamis 18 Jun 2020 17:53 WIB

Lebih Optimis, BI: Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 0,9 Persen

Bank Indonesia melihat defisit transaksi berjalan mengalami surplus pada Mei 2020.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Pertumbuhan ekonomi
Foto: Tim infografis Republika
Pertumbuhan ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,9 persen hingga 1,9 persen pada tahun ini. Adapun proyeksi ini lebih optimistis dari perkiraan pemerintah yang mematok proyeksi pada kisaran nol persen hingga satu persen pada tahun ini.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan data perekonomian terkini, Bank Indonesia melihat defisit transaksi berjalan mengalami surplus pada Mei 2020, setelah defisit pada April 2020. Kemudian aliran modal asing berlangsung masuk karena meredanya ketidakpastian pasar keuangan global dan daya tarik pasar domestik.

Baca Juga

"Beberapa indikator dini permintaan domestik juga mengindikasikan perekonomian telah berada level terendah dan mulai memasuki tahapan pemulihan seperti tercermin dari penjualan semen, penjualan ritel, PMI, dan ekspektasi konsumen yang lebih baik dari capaian bulan sebelumnya," ujarnya saat konferensi pers virtual, Kamis (18/6).

Ke depan bank sentral memprediksi proses pemulihan ekonomi mulai menguat pada kuartal tiga 2020 berkisar 1,2 persen dan sebesar 3,1 persen pada kuartal empat 2020. Hal ini sejalan relaksasi PSBB sejak pertengahan Juni 2020 serta stimulus kebijakan yang ditempuh.

"Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 sebesar 0,4 persen, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 1,1 persen seiring dengan penyebaran virus Corona di Tanah Air," jelasnya.

Pada 2021, Perry optimistis kinerja ekonomi Indonesia dapat melonjak mencapai lima persen - enam persen, setelah cenderung melorot pada 2020 sebesar 0,9 persen - 1,9 persen.

"2021 (PDB) akan kembali meningkat ke 5-6 persen didorong perbaikan ekonomi global, stimulus BI, dan faktor fundamental. BI akan kuatkan sinergi dengan pemerintah dan otoritas," ungkapnya.

Sementara Kepala ekonom PermataBank Josua Pardede menambahkan penurunan suku bunga acuan dengan mempertimbangkan beberapa indikator makroekonomi. Misalnya, tekanan inflasi, khususnya inflasi dari sisi permintaan yang cenderung rendah mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat yang menurun tajam.

"Data-data lainnya yang turut mendukung lemahnya konsumsi rumah tangga adalah penurunan tajam dari indeks kepercayaan konsumen, penjualan eceran, nilai tukar petani, penjualan otomotif yang mengindikasikan konsumsi masyarakat berpotensi mengalami kontraksi," jelasnya.

Selanjutnya kedua perkembangan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek ini yang cenderung stabil ditunjukkan dengan volatilitas nilai tukar rupiah secara rata-rata menurun yang terindikasi dari one-month implied volatility yang menurun menjadi 13 persen sepanjang Juni dari Maret yang lalu sebelumnya sempat meningkat ke kisaran 33 persen.

"Penurunan volatilitas rupiah tersebut sejalan dengan penurunan volatilitas di pasar keuangan global, sehingga arus modal asing terindikasi sudah kembali masuk ke pasar keuangan domestik terutama di pasar SBN, sehingga mendukung penguatan nilai tukar rupiah sekitar 16 persen dibandingkan dengan posisi akhir Maret 2020 meskipun nilai tukar rupiah masih mengalami pelemahan sekitar 1,6 persen ytd," jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement