REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan (Sumsel) 1, Riezky Aprilia mengaku pernah diminta untuk menyerahkan kursi parlemen didudukinya untuk politikus PDIP lainnya, yaitu Harun Masiku. Hal itu diungkap Riezky di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/6).
"Pak Saeful menyampaikan yang akan menggantikan saya adalah Harun Masiku, saya sempat ketawa, karena di bawah saya ada kurang lebih empat orang lagi baru dia (Harun), saya mikirnya Anda (Saeful) bagaimana nasib empat orang ini," kata Riezky.
Riezky pada hari ini saksi untuk terdakwa mantan anggota KPU Wahyu Setiawan dan kader PDIP Agustiani Tio Fridelina. Sebelumnya, Wahyu dan Agustiani didakwa menerima suap Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku, agar mengupayakan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) 1 kepada Harun Masiku. Wahyu juga didakwa menerima suap Rp500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan.
Dalam dakwaan disebutkan, bahwa meskipun politikus PDIP, Nazarudin Kiemas sudah meninggal dunia, ia tetap mendapat suara tertinggi di Dapil Sumsel 1, yaitu 34.276 suara dalam Pemilu Legislatif 18 April 2019. Suara Nazaruddin itu kemudian dialihkan kepada Riezky, sehingga Riezky mendapat total 44.402 suara dan berhak menduduki jabatan sebagai anggota DPR RI.
Namun, pada Juli 2019, rapat pleno PDIP memutuskan Harun Masiku yang hanya mendapat suara 5.878, sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazarudin Kiemas. PDIP menunjuk Donny Tri Istiqomah untuk mengurus persoalan tersebut. Donny menghubungi Riezky, yang pada September 2019 sedang berada di Singapura untuk bertemu rekannya yang juga kader PDIP Saeful Bahri.
"Pagi-pagi Donny bilang akan ada yang hubungi namanya Saeful. Dia (Saeful) datang sore dan minta bertemu di Shangri-La Orchard Hotel, saya mikirnya ketemu di restoran ternyata bukan, waduh ini saya dibawa ke mana, saya sempat sport jantung juga, saya dibawa ke kamar dan saat itu dia sendirian," ujar Riezky.
Pertemuan itu, menurut Riezky, berlangsung selama sekitar 30 menit yang intinya adalah meminta Riezky membuat surat pengunduran diri sebagai caleg terpilih.
"Saya tanya alasannya bolak-baliknya politik harus fleksibel itu saja, dia tidak mention si A, atau B atau C. Kalimat yang saya ingat, dia katakan 'Saya ini tidak ada kepentingan apa-apa, saya mau bantu mbak, saya sama mas Donny temenan, saya diminta tolong untuk ketemu mbak," ungkap Riezky.
Tetapi, Riezky yang baru pertama kali bertemu dengan Saeful tidak percaya dengan perkataan Saeful.
"Dia juga bawa surat-surat tapi saya tidak sentuh, dia bilang ini surat-surat yang dia bawa dari Jakarta, silakan baca tapi saya tidak mau baca," ujar Riezky.
Surat-surat itu menurut Riezky menirukan Saeful adalah keputusan MA dan fatwa MA. Dalam dakwaan disebutkan DPP PDIP pada 13 September 2019 mengirim surat perihal Permohonan Fatwa Terhadap Putusan MA-RI Nomor 57P/HUM/2019 19 Juli 2019 yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada pokoknya DPP PDIP meminta fatwa kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia agar KPU RI bersedia melaksanakan permintaan DPP PDIP sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan.
"Saeful juga bicara nanti ada ganti rugi biaya kompensasi suara saya nanti dikalikan Rp50 ribu terus dikasih jabatan yang hormatnya sama dengan DPR. Saya katakan ini bukan suara dibeli atau jabatan, ini tanggung jawab saya dengan konstituen, tapi dia masih ngotot. Jadi saya aneh, kok jadi seperti pasar, tawar-menawar, saya tidak mau masih saja didesak," kata Riezky.
Ia pun lalu menutup pembicaraan dengan menolak langsung permintaan Saeful untuk mundur dari kursi parlemen, karena hal itu sia-sia. Namun setelah tiba di Indonesia, Riezky mengaku Saeful sempat menghubunginya lagi untuk meminta data perolehan suara.
"Saya katakan, Anda orang partai masa enggak punya data perolehan suara, salah minta dong, walau saya ada fotokopi rekap suara tapi kalau Anda minta ke saya salah alamat. Jadi Donny dan Saeful beberapa kali hubungi saya minta data C-1 dan data rekapitulasi suara tidak saya tanggapi kan lucu kalau benar orang partai enggak ada data," ujar Riezky lagi.
Riezky pun mengaku tidak pernah bertemu dengan Harun Masiku.
"Itu yang saya bingung sampai detik ini saya belum pernah ketemu, kalau dengan Pak Darmadi (caleg Sumsel I lain) saya pernah ketemu karena kami sama-sama dari Sumsel, kalau dengan Pak Harun, papasan di tikungan saja tidak pernah," kata Riezky.
Adapun, keberadaan Harun Masiku sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020 hingga saat ini masih misterius, dan sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron. Terkait perkara ini, pada 28 Mei 2020 lalu, Saeful Bahri telah dijatuhi divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara ditambah dengan Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan, karena terbukti ikut menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta.