REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz memeriksa daftar sertifikat tanah, dia menemukan bahwa ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam, memiliki perkebunan kurma yang sangat luas dan subur di Khaibar, dekat Madinah.
Harta itu lalu diwariskan kepadanya. Usai menyelidiki kronologinya, lahan itu diambil kakek Umar dari milik kaum Muslimin, maka Umar langsung merobek sertifikat tanah dan kebun miliknya itu, lalu mengembalikan kepada negara agar hasilnya untuk rakyat semata.
Ketegasan, keberanian, dan kecepatan Umar bin Abdul Aziz memberantas kemungkaran tak cuma itu. Dalam biografinya yang ditulis Abdullah bin Abdul Hakam diriwayatkan, Umar melarang aparat negara dan rakyat menyiksa hewan. Kepada Hayyan, pejabatnya di Mesir, Umar menyatakan unta pengangkut barang dilarang dimuati melebihi 600 rithl (sekitar 240 kg).
Sebagai kepala negara ia selalu memudahkan orang mencari pekerjaan, gemar menasihati rakyat, serta membagikan harta negara kepada orang miskin, dan sebagainya. Sayangnya, keteladanan Umar itu tidak banyak yang mencontoh. Kini, walaupun banyak pejabat Muslim, mereka terkesan enggan memakai kekuatan dan kekuasaannya untuk mencegah kezaliman dan kemaksiatan.
Padahal, saban hari mereka bisa dengan mudah melihat dosa besar serta dosa yang status keharamannya didasari dalil yang qathi tsubut (pasti sumber hukumnya) dan qathi dilalah (pasti penunjukan makna/tafsirnya). Keharaman judi misalnya, bukanlah hasil ijtihad, melainkan firman Allah SWT (QS 5:90-91).
Apalagi kemusyrikan, seperti ajakan mempercayai sihir lewat novel anak-anak, pertunjukan TV yang membuat orang berdoa pada jin-jin, dan seterusnya. Padahal, syirik merupakan dosa terbesar tak terampuni (QS 1:5, 2:102, 4:48).
Begitu juga dengan korupsi dan suap-menyuap. Kedua hal ini jelas diterangkan dalam beberapa hadis shahih riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Abu Dawud, bahwa Rasulullah SAW enggan menolong koruptor di akhirat. Beliau pun bersabda, penyuap dan yang disuap dilaknat Allah SWT.