Kamis 18 Jun 2020 21:36 WIB

Covid-19, Deglobalisasi dan Pelokalan Gerakan Zakat

Dukungan gerakan zakat terhadap keberlanjutan ekonomi berbasis local supply chain

Pemberian bibit tanaman merupakan bagian penyaluran dana zakat oleh Dompet Dhuafa.
Foto: Dompet Dhuafa
Pemberian bibit tanaman merupakan bagian penyaluran dana zakat oleh Dompet Dhuafa.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Haryo Mojopahit, MS, Direktorat Pengembangan Zakat Dompet Dhuafa

JAKARTA -- Pandemi Covid-19 menjadikan banyak pembuat kebijakan dan pebisnis memikirkan kembali deglobalisasi. Ide-ide deglobalisasi sebenarnya sudah didengungkan sejak lama. Global supply chain dirasa telah membuat ketergantungan satu negara dengan yang lain semakin kuat. Sementara itu, di saat pandemi seperti ini, aliansi dan organisasi dunia kehilangan efektivitasnya.

Baca Juga

Kerja sama internasional yang selama ini diagungkan, hanya sekedar janji manis. Misalnya, pembatasan ekspor alat-alat medis dan kebijakan lockdown sebagai pilihan banyak negara, membuat negara-negara lain turut memikirkan proteksionisme serupa.

Setidaknya wujud globalisasi di tataran ekonomi bisa dilihat dari perdagangan antarnegara, investasi antarnegara, sharing data dan teknologi, perpindahan tenaga kerja dan turisme. Semuanya mewujudkan integrasi ekonomi yang kuat di kawasan maupun di aliansi-aliansi ekonomi, seperti G-20. Namun, kini dunia mulai berpikir globalisasinya telah kebablasan. Kemungkinan besar setelah masa pandemi Covid-19, globalisasi kita tidak akan seperti yang dulu.

Douglas A. Irwin (2020) menyatakan dalam sejarahnya, globalisasi memang melalui banyak pasang surut. Fase pertama globalisasi terbuka saat ditemukannya mesin uap pada 1870-1914 yang tak hanya mendorong revolusi industri di Eropa. Tapi juga perdagangan antarbenua melalui kapal uap yang membuat barang lebih cepat sampai dan harganya murah. Namun, Perang Dunia I dan Perang Dunia II telah menyebabkan kemunduran globalisasi. Diikuti dengan keluarnya Rusia dari perdagangan dunia karena Revolusi Komunis 1917, Pandemi Spanish-Flu 1918, instabilitas moneter di awal 1920-an, the Great Depression 1929, dan terakhir maraknya Proteksionisme di 1930-an.

Namun, tiga dekade setelah Perang Dunia II, globalisasi kembali lagi dengan diresmikannya banyak kerja sama internasional, seperti General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Setelah 1980 hingga 2008, dunia menyaksikan banyak kemajuan globalisasi dengan menguatnya China dan India. Lalu rontoknya kekuasaan komunis di banyak negara yang menyebabkan perdagangan internasional makin terbuka. Juga berkembangnya ekonomi di negara-negara Amerika Latin. Ini berlangsung selama beberapa dekade hingga akhir 2019 dan awal 2020.

Sebelum pandemi Covid-19, perdagangan dunia telah menunjukan gejala-gejala deglobalisasi. Kurva pertumbuhan global value chain, mulai flat. Ekspor China berkurang dari 31 persen di 2008 ke 17 persen di 2019. Amerika Serikat lewat Presiden Trump memberlakukan banyak kebijakan proteksionisme lewat slogan “America First” dan keluar dari Trans-Pacific Partnership. Pandemi tersebut mengakselerasi deglobalisasi yang tengah terjadi. Menghadapi kecenderungan tersebut, Mohamed El-Erian (2020) menganjurkan para pendukung globalisasi untuk mengadopsi dua prioritas. Pertama, menjalankan deglobalisasi parsial secara teratur dan terencana. Termasuk self-feeding disruption yang berimbas menyakitkan bagi perekonomian. Kedua, mereka harus menguatkan fondasi untuk globalisasi yang inklusif dan sustainable. Agar semua pihak bisa mendapatkan win-win solution dari globalisasi.  

   

Pelokalan zakat

Lalu bagaimana para pengelola zakat merespons kecenderungan deglobalisasi yang tengah menguat?

Zakat adalah rukun Islam ketiga yang memiliki aspek spiritual, sosial dan ekonomi di dalamnya. Dalam harta seseorang yang telah mencapai nishab terkandung harta para mustahik. Hukum Islam membagi mustahik (orang yang berhak menerima zakat) ke dalam delapan golongan (asnaf), yaitu fakir, miskin, gharimin, fii sabilillah, muallaf, rikab (budak), ibnu sabil (orang dalam perjalanan yang kehabisan bekal), dan amil (pengelola zakat).

Porsi kepemilikan para mustahik harus dikeluarkan untuk membersihkan harta seseorang dengan cara berzakat. Tidak sempurna Islamnya jika seseorang tidak mengeluarkan hak para mustahik dari hartanya selama setahun. Sedemikian pentingnya ibadah zakat. Sehingga Khalifah Abu Bakar memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat.

Para ulama memprioritaskan pendistribusian dan pendayagunaan zakat di daerah tempat zakat itu ditunaikan. Zakat yang dikumpulkan di sebuah wilayah hendaknya didistribusikan dan disalurkan di wilayah itu juga. Zakat baru diperbolehkan diberikan ke mustahik di daerah lain saat tidak ada lagi mustahik di daerah tersebut. Dalam sejarah peradaban Islam, hal tersebut pernah terjadi di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menyalurkan zakatnya ke wilayah Afrika. Ini berarti pelokalan zakat merupakan prioritas ketika di daerah tersebut masih ada mustahik yang memerlukan.

Sementara itu, pengelolaan zakat di Indonesia tidak berhenti pada penyaluran sosial saja. Misalnya, memberikan bahan kebutuhan pokok atau membantu seseorang terbebas dari hutang. Beberapa Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), baik level pemerintah dengan Badan Amil Zakat (BAZ) dan swadaya masyarakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ), telah melakukan aktivitas pemberdayaan ekonomi masyarakat menggunakan dana zakat yang bergulir untuk membantu para mustahik keluar dari jerat kemiskinan.

Penyaluran dana zakat di tingkat lokal dalam mengurangi dampak ekonomi pandemi Covid-19, telah dilakukan oleh OPZ-OPZ di wilayah masing-masing. Mulai dari bantuan sosial berupa bahan kebutuhan pokok hingga memberikan bantuan ketahanan pangan keluarga, seperti bibit tanaman dan peternakan, serta pendampingan untuk memproduksi makanan sendiri di tingkat rumahan.

Saat ini, di komunitas juga tengah marak aktivitas jual-beli sesama anggota. Baik komunitas di lingkungan rumah hingga komunitas teman kerja. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyuburkan kegiatan jual-beli intra-komunitas. Jual beli antar-tetangga menjadi sebuah hal yang diminati masyarakat.

Membeli hasil panen petani lokal juga makin semarak dilakukan. Sosial media merupakan platform penting untuk aktivitas jual-beli di komunitas. Ini merupakan semangat perberdayaan tingkat lokal yang harus ditangkap para pembuat kebijakan dan gerakan zakat.

Menumbuhkan local supply chain

Gejala deglobalisasi di tingkat internasional, prioritas penyaluran zakat untuk tingkat lokal dan semangat masyarakat untuk berjual beli secara lokal dari orang terdekat, harus disinergikan dalam rangka menumbuhkan local supply chain dari hulu hingga hilir. Dari sisi penawaran, dana zakat harus digulirkan untuk menumbuh-berdayakan para produsen bahan baku, UMKM yang menghasilkan produk-produk turunan dari bahan baku hingga barang jadi yang siap dikonsumsi oleh masyarakat di daerah tersebut.

Sedangkan, dari sisi permintaan, dana zakat bisa dipergunakan untuk membeli produk-produk yang dihasilkan oleh para produsen lokal. Kemudian dikelola untuk diberikan sebagai bantuan sosial kepada keluarga mustahik atau mereka yang terdampak pandemi Covid-19.

Cita-cita tersebut sebenarnya juga sudah dicanangkan Ir. Soekarno saat menggagas konsep Marhaenisme yang diambil dari pengalamannya bertemu dengan petani Marhaen yang memiliki tanah dan alat-alat pertaniannya sendiri dan hasilnya dikonsumsi sendiri. Namun, dalam perjalanannya, tidak ada negara yang sanggup menolak pusaran globalisasi. Inilah saat terbaik bagi gerakan zakat untuk menumbuh-berdayakan local supply chain di tingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten atau Kota di Seluruh Indonesia dengan keunikannya masing-masing. Kelak ketika dunia benar-benar ter-deglobalisasi, ekonomi Indonesia memiliki ketahanan yang baik. Karena dukungan gerakan zakat terhadap keberlanjutan ekonomi berbasis local supply chain.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement