REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in menerima pengunduran diri dari Menteri Unifikasi Kim Yeon-chul secara resmi pada Jumat (19/6), menyusul ketegangan yang meningkat dengan Korea Utara (Korut). Ketegangan kedua negara kembali muncul dengan adanya kegiatan para pembelot di Negeri Ginseng.
Kim Yeon-chul, selaku menteri yang bertanggung jawab atas hubungan dengan Korut, pertama kali mengajukan pengunduran diri pada Rabu (17/6) lalu. Pyongyang telah menolak permintaan Seoul untuk terlibat dalam upaya memulai kembali proyek ekonomi antar-Korea.
Proyek ekonomi tersebut telah terhenti karena sanksi internasional yang dirancang untuk mengendalikan program nuklir dan rudal Korut. Selain itu, negara yang dipimpin Kim Jong-un mempermasalahkan pembelot di Korsel yang mengirim selebaran propaganda.
Korsel dinilai gagal menghentikan tindakan para pembelot. Dengan demikian, Korut menyatakan dialog berakhir dan mengancam aksi militer dapat dilakukan atas kesalahan tersebut.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Unifikasi Korsel mengatakan melalui juru bicara Cho Hye-sil bahwa seorang imigran berencana mengirimkan ratusan botol berisi beras, obat-obatan, dan masker medis ke Korut. Meski demikian, rencana ini telah diminta dihentikan menyusul ketegangan yang terjadi.
Cho Hye-sil mengatakan, pihak berwenang akan berupaya menghentikan rencana tersebut. Jika upaya tersebut tetap dilaksanakan, akan ada hukuman atau sanksi yang diberikan atas pelanggaran sesuai dengan yang diatur dalam hal pertukaran dan kerja sama antar-Korea.
Pada awal pekan ini militer Korut menyatakan siap mengambil tindakan jika kelompok pembelot di Korsel meneruskan kampanye propaganda. Bahkan, Tentara Rakyat Korea (KPA) mengaku telah mempelajari aksi untuk memasuki zona demiliterisasi (DMZ), yang merupakan wilayah perbatasan dengan Korsel, di bawah pakta antar-Korea.