REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosialisasi intensif tentang risiko penularan orang tanpa gejala, kelompok rentan, dan wacana larangan mudik menjadi faktor penting yang memengaruhi rencana masyarakat melakukan mobilitas. "Pembatalan (mobilitas, red.) itu semakin mengemuka ketika wacana larangan mudik itu semakin kencang disuarakan," ujar peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rusli Cahyadi. dalam seminar daring disiarkan di akun Youtube Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-LIPI di Jakarta, Jumat (19/6).
Hampir 98 persen responden survei yang dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menyatakan bahwa mereka mempunyai pengetahuan tentang kelompok rentan dan OTG. Artinya, katanya, pengetahuan para responden terhadap penyakit Covid-19 dan kekhawatiran terhadap risikonya menjadi faktor yang memengaruhi rencana masyarakat untuk mudik.
Rusli menambahkan hasil survei terhadap gerakan berpindah-pindah (mobilitas) masyarakat menunjukkan saat pandemi Covid-19 keinginan bermobilitas semakin berkurang. "Lebih dari 60 persen responden yang menyatakan mudik setiap tahun, tapi 21 persen responden menyatakan akan membatalkan rencana mudik ketika itu dikaitkan dengan risiko penularan," kata dia.
Ia mengatakan bahwa itu membuktikan masyarakat berpotensi untuk mematuhi kebijakan pengendalian pandemi Covid-19 ketika diberikan pemahaman secara masif dan benar. Hal itu, katanya, terlihat dari kegiatan yang sifatnya tradisi, seperti mudik, di mana masyarakat mau memikirkan ulang keinginan mereka untuk kegiatan yang sifatnya sudah "mendarah daging" dalam masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, kata dia, pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi titik balik kepatuhan masyarakat itu. Rusdi mengatakan wacana relaksasi PSBB, seperti di sektor transportasi, membuat masyarakat bingung sehingga momentum kepatuhan masyarakat menjadi hilang.
"Potensi itu menjadi hilang, ketika wacana relaksasi itu mulai berjalan, bahkan sebelum larangan mudiknya itu dicabut," kata Rusli.