REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini mengkritisi jadwal Pemilihan Umum Presiden RI dan pemilihan kepala daerah berlangsung serentak pada tahun 2024. Menurut Titi, pilkada serentak itu akan membuat arah pemilihan umum nanti tidak jelas.
"Sangat mungkin bahwa kompetisi itu menjadi tidak jelas arahnya," kata Titi di Jakarta, Jumat (19/6).
Meski, misalnya, pilkadanya pada November 2024 dan pemilu pada April 2024, otomatis harus ada distribusi calon. Masalahnya, kata dia, harus ada yang memikirkan pilkada, sementara di sisi lain harus ada yang memikirkan pilpres.
Kendati pemberdayaan pemilih sebaik apa pun, menurut Titi, tetap sulit untuk mendapatkan politik gagasan dan program bagi calon yang berkompetisi nanti. Hal ini mengingat kompleksitas pemilih akan membuat sulit untuk mendapatkan pemilih yang betul-betul logis.
Selain itu, jika ada pilkada pada tahun 2024, penyelenggaraan pemilu dari sisi teknis dan sisi kompetisi politik akan kacau balau karena semua orang juga harus berkonsentrasi dalam pilpres dan pemilu anggota legislatif. Padahal, tokoh-tokoh politik alternatif harus hadir dengan prosedur demokrasi elektoral yang baik.
Kalau tokoh politik alternatif hadir di prosedur pemilu yang buruk, menurut Titi, akan sulit mendapatkan kompetisi yang baik dan memperkuat demokrasi. Ia menyarankan penataan ulang jadwal Pilkada 2024 sehingga berlangsung pada 2022 atau 2023, atau digabungkan di pertengahan 2022 dan awal 2023.
"Jadi, mau tidak mau, kita harus memastikan ada penataan jadwal untuk tidak (diadakan) pilkada nasional pada tahun 2024. Kalau kami mengusulkan pada tahun 2022, 2023, atau digabungkan di pertengahan 2022 atau awal 2023 itu harus tetap ada Pilkada. Itu menjadi pemanasan atau uji mesin kita menuju Pilpres 2024," kata Titi.