Sabtu 20 Jun 2020 17:04 WIB

Mendagri Tito Munculkan Lagi Ide Pilkada Asimetris

Pilkada asimetris, ada daerah yang menggelar pilkada secara langsung dan tidak

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyarankan pemilihan kepala daerah (pilkada) asimetris perlu dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia. Ia menjelaskan, dengan pilkada asimetris, ada daerah yang menggelar pilkada secara langsung atau dipilih oleh rakyat, dan ada daerah lain yang melaksanakan pilkada tidak langsung.

"Pilkada asimetris mungkin perlu dipertimbangkan. Bukan sesuatu yang aneh. Kenapa? Karena menurut pendapat saya kita tidak perlu alergi dengan pilkada asimetris," ujar Tito dalam diskusi virtual 'Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah?' Sabtu (20/6).

Ia menuturkan, ada positif dan negatif dalam pelaksanaan pilkada langsung selama ini. Pemilihan langsung memunculkan legitimasi yang kuat karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya di daerah masing-masing.

Sisi negatifnya, menurut Tito, terjadi manipulasi demokrasi. Ia menyebutkan, para pemegang kekuasaan, pemilik modal, hingga pihak yang dapat menggiring opini melalui media massa, dapat membuat masyarakat yang tidak mengerti demokrasi justru akan memilih pemimpin yang tidak berkualitas.

"Karena mereka (masyarakat) belum mengerti arti demokrasi. Akibatnya demokrasi dapat dimanipulasi atau didikte oleh satu pemegang kekuasaan, para pemegang modal yang punya uang, yang ketiga adalah mereka yang punya menggiring opini publik karena mungkin memiliki media dan lain-lain," jelas Tito.

Selain itu, lanjut dia, pilkada langsung menyebabkan akar masalah korupsi di daerah. Tito menyebutkan, calon kepala daerah yang maju kontestasi pilkada mengeluarkan biaya sebesar Rp 20 miliar hingga lebih dari Rp 100 miliar.

Sedangkan, gaji kepala daerah selama lima tahun atau satu periode menjabat tidak mampu mengembalikan modal tersebut. Kepala daerah harus mengeluarkan uang untuk membayar tim sukses, kampanye, bahkan politik transaksional kepada partai politik untuk pencalonan, serta membeli suara (money politic) di tingkat bawah,

"(Gaji kepala daerah) selama lima tahun lebih kurang Rp 12 miliar. Uang yang keluar Rp 20 miliar, Rp 30 miliar, Rp 50 miliar, apa mau untuk merugi?" tutur Tito

Tito menyebutkan, akibat pengeluaran saat pilkada lebih besar dari gaji, penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah akan terjadi. Sehingga, ia tidak heran jika ada kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) karena kasus korupsi.

Ia menyarankan, pilkada langsung maupun tidak langsung dapat didasarkan pada angka indeks pembangunan manusia (IPM). Pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara.

Tito mengatakan, pilkada langsung dapat dilaksanakan di daerah dengan IPM yang tinggi dan sedang. Artinya tingkat pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat baik. Sehingga menurut dia, rakyat dapat menyelenggarakan demokrasi secara dewasa.

Sementara pilkada tidak langsung digelar di daerah yang memiliki IPM rendah. Sebab, kata Tito, masyarakat dianggap tidak memahami demokrasi sehingga berpotensi dimanipulasi oleh pihak tertentu.

Tito juga mengusulkan penerapan pilkada langsung dan tidak langsung didasarkan pada kemampuan fiskal masing-masing daerah. Selain itu, lanjut dia, penentuannya sistem pemilihannya harus pula memperhatikan faktor sosial ekonomi. Apakah pilkada langsung akan memecah keharmonisan di tengah masyarakat di daerah yang rawan konflik atau tidak.

"(Masyarakat) menjadi terpecah justru karena ada pilkada, NTT (Nusa Tenggara Timur) pernah terjadi seperti itu," kata Tito.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement