REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menanggapi usulan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait mempertimbangan pemilihan kepala daerah (pilkada) asimetris di Indonesia. Menurut dia, masyarakat tidak mau pilkada asimetris dan menginginkan sistem yang sama di setiap daerah.
"Kita mau enggak berasimetri? Jawabannya sudah jelas tidak mau, kira-kira gitu. Maaf Pak Tito, kira-kira enggak mau mereka, karena mesti ada satu sistem yang sama," ujar Ganjar dalam diskusi virtual 'Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah?', Sabtu (20/6).
Ganjar melanjutkan, kecuali daerah yang sudah diatur dalam undang-undang yakni Aceh, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua. Empat daerah tersebut memiliki keistimewaan tersendiri terkait ketentuan dan mekanisme dalam penyelenggaraan pilkada sesuai amanat undang-undang.
Sementara, daerah lain selain empat daerah itu melaksanakan pilkada dengan sistem yang sama. Menurutnya, partai politik yang harus bertanggung jawab melatih rakyat menjalankan proses demokrasi, melalui agregasi politik, sumber rekrutmen kader, dan pendidikan politik.
Ganjar menekankan, dalam jangka pendek pada pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020 nanti, usulan pilkada asimetris sebaiknya tidak dibahas. Akan tetapi, sebuah konsep atau pemikiran boleh dikembangkan dalam rentang waktu yang lebih panjang.
"Tetapi hari ini kita mesti memperbaiki, maka pemilih pasti akan mencari rekam jejak, konsistensi, kira-kira harapan program apa yang diberikan," kata Ganjar.
Pilkada asimetrsi merupakan sistem yang memungkinkan adanya perbedaan mekanisme pelaksanaan pilkada di setiap daerah yakni pemilihan langsung dipilih oleh rakyat atau tidak langsung. Saat ini, ada empat daerah yang memiliki tata cara berbeda dalam pilkada, diatur undang-undang karena aspek administrasi, budaya, atau aspek strategis lainnya.
Misalnya, wali kota dan bupati di DKI Jakarta tidak dipilih langsung oleh warganya, melainkan ditunjuk oleh gubernur melalui persetujuan DPRD. Sebab, status daerah tingkat II di DKI Jakarta bukan daerah otonom, melainkan sebagai daerah pembantu ibu kota negara.
Sementara, Tito mengusulkan penerapan pilkada asimetris berdasarkan indeks kedewasaan demokrasi yang indikatornya berasal dari indeks pembangunan manusia (IPM). Sebab, IPM mengukur tingkat pendidikan, kualitas kesehatan yang dihitung dari tingkat harapan hidup, dan kemampuan rumah tangga.
Menurut Tito, daerah dengan IPM yang tinggi dan sedang memiliki tingkat pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rumah tangga yang baik. Sehingga masyarakatnya dianggap dewasa dalam berdemokrasi.
Sementara, lanjut dia, daerah dengan IPM rendah, masyarakatnya tak berpendidikan, tak sehat, dan kemampuan rumah tangganya lemah. Mereka dinilai tidak dewasa berdemokrasi. "Sehingga mudah untuk dimanipulasi dan belum memahami demokrasi," ucapnya.
Selain itu, Tito juga menyarankan, penentuan sistem pilkada langsung atau tidak langsung juga didasari pada kemampuan fiskal masing-masing daerah. Rasio antara jumlah pendapatan asli daerahnya (PAD) dengan jumlah dana transfer pusat.
Semakin jumlah PAD lebih besar dari dana transfer daerah, maka kemampuan fiskal daerah itu dikatakan tinggi. Kemudian, ia juga mengusulkan sosial ekonomi menjadi faktor dalam penentuan pilkada asimetris.
"Apakah kalau pilkada dilaksanakan di daerah itu akan memecah keharmonisan yang sudah terjalin selama ini di daerah itu, misalnya katakanlah beberapa daerah Papua, saya paham, di daerah Pegunungan, di mana sistem kekerabatan sangat tinggi, yang dipilih adalah kerabat bukan kualitas," tutur Tito.
Menurut dia, sistem pilkada langsung selama ini menyebabkan timbulnya kasus korupsi dan penyalahgunaan kewenangan oleh kepala daerah. Sebab, kepala daerah berusaha menutupi biaya yang sudah dikeluarkan saat proses pilkada, kata Tito, biata politiknya lebih tinggi dibandingkan gaji selama lima tahun menjabat.
Selain itu, masyarakat dengan tingkat pemahaman yang rendah akan mudah dimanipulasi oleh para pemegang kekuasaan, pemilik modal, dan pihak yang menggiring opini melalui kepemilikan media masaa. Sehingga, kepala daerah dipilih karena politik uang atau politik transaksional bukan kualitas calon kepala daerah.