REPUBLIKA.CO.ID, Seorang pejabat negara menjadi terdakwa kasus kriminal. Namun, dalam persidangan, hakim (qadhi) memberikan keringanan hukuman bagi terdakwa karena pertimbangan jasa dan pengabdian terdakwa yang sudah lama kepada negara. Bolehkah hal itu dilakukan qadhi? Bagaimana ulasannya menurut fikih Islam?
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat Lc menjelaskan, pada dasarnya seorang hakim mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan hukuman atau tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.
Ia menjelaskan, pada masa lalu, hakim dalam memutuskan hukuman berdasarkan ijtihadnya dengan melakukan pengecekan dan mencocokan keterangan-keterangan hingga mendatangkan saksi serta bukti. Sebab, pada masa lalu, belum terdapat undang-undang yang mengatur secara perinci kasus hukum berikut sanksi yang berlaku bagi yang melanggar (qanun).
Sedangkan pada zaman modern, jelas Ustaz Sarwat, hakim dibekali dengan qanun. Hal tersebut pun mempermudah tugas hakim dalam mengambil keputusan. Hakim tinggal mengaitkan apakah kasus yang disidangkan sudah memenuhi ketentuan sesuai dengan pasal-pasal yang sudah ditentukan.
Karena itu, Ustaz Sarwat menjelaskan, seorang hakim bisa memberikan keringanan hukuman kepada terdakwa. Namun, ia juga menjelas kan, jasa seorang terdakwa kepada negara pada asalnya tidak bisa secara langsung dijadikan alasan untuk meringankan hukuman terdakwa. Perlu ada syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga seorang hakim dapat memberikan keringanan hukuman bagi terdakwa.
"Apakah seorang hakim bisa meringankan hukuman terdakwa? Ya itu sudah pasti bisa. Apalagi di masa lalu, bahkan tanpa merujuk pada pasal apapun itu bisa. Karena memang dia (qadhi) mempunyai kekuasan penuh dalam hal itu. Bahwa ada keringanan hukuman itu pasti. Tinggal berdasarkan apa. Kalau berdasarkan jasa sebenarnya tidak tepat. Karena orang yang berjasa ya dia dihargai jasanya . Tapi, kemudian apakah jasa itu bisa buat untuk meringankan hukuman, itu tidak. Aslinya kan begitu," tuturnya.
Ustaz Sarwat mencontohkan, seorang hakim tidak bisa menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang lantaran terdapat syarat-syarat hukum potong tangan yang belum terpenuhi secara keseluruhan. Misalnya, terdapat unsur keterpaksaan, kelaparan, atau unsur lainnya yang belum terpenuhi dalam bab pencurian. Sehingga, menurut Ustaz Sarwat, seseorang yang dituntut dengan pasal hukum potong tangan bisa jadi tidak dilaksanakan.
"Jadi, bisa saja orang diberikan keringanan hukuman, tapi bukan karena jasanya tapi oleh hakim bisa saja dicari hal-hal yang meringankan dia dari kasus itu. Tetapi, pertimbangan kenapa dia (terdakwa) dicarikan keringanan hukumnya bisa jadi karena pertimbangan hakim pada dia adalah punya jasa pada negara. Seperti oke dia punya jasa, pembela mencarilah mana yang ompong dari syarat-syarat itu, tapi tidak secara langsungkan. Dia dibela bukan karena dia berjasa. dia dibela karena dalam kasusnya ada hal hal yang mungkin masih bisa dinego gara-gara kalusulnya belum bisa terpenuhi," katanya.
Kejadian meringankan hukuman juga pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Menurut Ustaz Sarwat Khalifah Umar pernah tidak menghukum potong tangan orang-orang yang mencuri karena pada saat itu terjadi kasus kelaparan.
Orang-orang yang mencuri hanya diminta untuk mengganti kerugian dari pemilik barang yang dicuri. "Seorang punya banyak jasa pada negara tapi dia salah, lalu bisa saja dia lewat seorang lawyer, dia cariin jalannya supaya lepas atau luput dari hukuman itu. Lalu kemudian kepada hakim, tolong dong dipertimbangkan lagi ini orang udah banyak jasanya, lagian dia salahnya juga ngga salahsalah amat misalnya, ada lubang lubang yang hukum bisa ditempuh. Atas pertimbangan kerahiman seorang hakim sebenarnya bisa," kata dia.