Senin 22 Jun 2020 08:31 WIB

Survei: Muslim India Paling Rentan Dipecat dari Pekerjaan

Survei menyebut Muslim India paling rentan hadapi pemutusan hubungan kerja.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Survei menyebut Muslim India paling rentan hadapi pemutusan hubungan kerja. Bendera India (Ilustrasi).
Foto: IST
Survei menyebut Muslim India paling rentan hadapi pemutusan hubungan kerja. Bendera India (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI— Tingkat kehilangan pekerjaan serupa terjadi di daerah pedesaan dan perkotaan India. Tetapi “jaminan" kehilangan pekerjaan dirasakan terjadi lebih tinggi pada umat Muslim dan warga daerah pedesaan. 

Hal ini disampaikan dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap 1.405 pekerja di sembilan negara bagian berbahasa Hindi.  

Baca Juga

"Survei ini mengungkapkan jika persepsi ketidakpastian tentang masa depan pekerjaan tertinggi terjadi di antara perempuan dan migran antarnegara. Dan kepastian kehilangan pekerjaan tertinggi ada di antara pekerja Muslim," tulis penelitian tersebut yang berjudul "Kehidupan Buruh: Kelaparan, Prasyarat, dan Keputusasaan di tengah-tengah Kuncian", dikutip di Telegraph India, Senin (22/6).  

Hasil penelitian juga mengungkapkan ada diskriminasi terhadap pekerja Muslim. Diskriminasi muncul sehubungan dengan masalah Jamaah Tabligh. 

Para peneliti menambahkan, berlawanan dengan harapan yang ada, daerah pedesaan dan perkotaan hanya memiliki sedikit perbedaan dalam hal kehilangan pekerjaan. 

Ini menunjukkan tanpa dukungan negara yang memadai, akan sangat sulit bagi orang miskin untuk bertahan hidup dalam periode penguncian, terlepas dari lokasi ia tinggal.

Dari sekian peserta survei, 43 persen merasa tidak pasti tentang mencari pekerjaan setelah kuncian. Sementara sepersepuluh di antaranya merasa yakin mereka tidak akan mendapatkan kembali pekerjaan mereka yang sebelumnya.  

“Ketidakpastian dapat kembali ke pekerjaan lama  tertinggi di daerah perkotaan. Sementara kepastian mendapatkan kembali pekerjaan yang sama adalah yang tertinggi di daerah semi-perkotaan," tulis penelitian tersebut.  

Dalam laporan penelitian itu, ditulis pula perihal kepastian kehilangan pekerjaan, tertinggi ada di daerah pedesaan. Hal ini menunjukkan diperlukan segera perhatian ke pedesaan, karena akan dibebani dengan banyaknya migran yang kembali.  

Dorongan dari pemerintah agar pengusaha tetap membayar pekerjanya selama periode kuncian, sebagian besar telah diabaikan. 

Hal ini terbukti dalam penelitian yang dilakukan Pusat Studi Ekuitas (dipimpin mantan birokrat Harsh Mander), Delhi Research Group, serta LSM Karwaan-e-Mohabbat.    

"Hampir 90 persen dari mereka yang bekerja di bawah kontraktor tidak dibayar. Bagi mereka yang tidak bekerja di bawah kontraktor, angkanya naik hingga 94 persen,” kata laporan itu. 

Lebih dari tiga dari lima responden kelaparan selama setidaknya satu hari penuh selama kebijakan kuncian dilakukan. Buruh harian menjadi pihak yang paling terpukul. Terutama migran antarnegara, anggota kelas terbelakang dan Muslim.  

Hanya setengah lebih sedikit responden yang tidak mengambil pinjaman untuk bertahan hidup. Langkah ini tidak dilakukan terutama karena kredit tidak tersedia, bahkan dari rentenir. 

photo
Ilustrasi anggota Jamaah Tabligh India - (Manish Swarup/AP)

Laporan yang sama juga menyebut, membiarkan pekerja meninggalkan rumah pada awal penguncian bisa mengurangi kesusahan mereka, bersamaan dengan risiko penyebaran infeksi yang jauh lebih rendah di pedesaan.  

Selain itu, jatah bantuan tunai sebesar 7.000 rupee India per rumah tangga dan pihak yang membutuhkan bisa mencegah kelaparan dan kehilangan pekerjaan yang meluas.  

Solusi yang ditawarkan penelitian ini meliputi skema pekerjaan pedesaan yang diperluas dan diubah. Serta skema pekerjaan perkotaan seperti yang dilakukan Amerika Serikat setelah depresi hebat pada 1930-an.  

"Batas 100 hari per rumah tangga harus dilalui. Pekerjaan harus disediakan sesuai permintaan tanpa batasan untuk semua orang dewasa. Selain itu, pekerjaan yang diizinkan harus mencakup tidak hanya pekerjaan pertanian tetapi juga bekerja di perusahaan pedesaan dan aspek perawatan," kata laporan itu.  

Perusahaan pedesaan yang dimiliki Panchayat dapat memulai dengan membayarkan tagihan upah yang harus ditanggung, sampai mereka dapat berdiri sendiri.

Hal ini bisa dilakukan pemerintah pusat melalui Skema Jaminan Ketenagakerjaan Pedesaan Nasional Mahatma Gandhi (MGNREGS). 

Pertumbuhan ekonomi di India dalam beberapa hari mendatang harus ditopang oleh pasar domestik. 

Penentu paling penting dari pertumbuhan pasar dalam negeri adalah pertumbuhan pertanian dan aspek ini harus segera didorong. 

Program MGNREGS disebut dapat digunakan untuk membantu hal di atas. Di antaranya membayar upah untuk pengembangan lahan dan pekerjaan pertanian untuk petani kecil dan menengah. 

Selain itu pemerintah bisa memberi dukungan melalui harga pengadaan yang remuneratif, kredit kelembagaan yang disubsidi, subsidi input lainnya, dan redistribusi tanah yang tidak digunakan dengan perkebunan.  

Untuk ini mencapai tujuan tersebut dan untuk investasi penting dalam kesehatan dan pendidikan yang akan menjadi keharusan setelah pandemi, para peneliti telah mengusulkan untuk menarik pajak bagi orang kaya.  

"Pajak kekayaan 2 persen di atas 1 persen populasi, bersama dengan pajak warisan 33 persen atas kekayaan yang mereka wariskan setiap tahun kepada keturunan mereka, dapat membiayai peningkatan pengeluaran pemerintah hingga 10 persen PDB," tulis laporan itu.  

Penelitian ini dilakukan antara 25 Mei dan 10 Juni, dan didanai oleh Yayasan Rosa Luxemburg, sebuah lembaga think tank Partai Kiri Jerman.  

Para pekerja yang sebelumnya menghubungi kelompok masyarakat sipil Aman Biradari di Delhi atau kelompok lain di Solan, Himachal Pradesh, untuk bantuan makanan dipilih sebagai responden. 

Para peneliti memperoleh tanggapan mereka melalui telepon setelah mereka mencapai negara bagian asal mereka di India utara dan timur.

 

Sumber: https://m.telegraphindia.com/india/coronavirus-lockdown-job-loss-certainty-highest-among-villagers-muslims/cid/1782757   

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement