REPUBLIKA.CO.ID, GUNUNG KIDUL - Warga perantau yang pulang kampung di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kesulitan kembali ke tempat perantauan. Ini karena harus memiliki Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) dengan biaya tidak sedikit. Di sisi lain mereka sulit mendapat pekerjaan di daerahnya tersebut.
Salah satu perantau yang pulang kampung dari Gunung Kidul bernama Bekti Zuanidas. Ia mengatakan dirinya pulang kampung sejak Februari 2020 saat awal pandemi Covid-19 karena menganggur di Jakarta.
"Saya ingin kembali merantau, tapi bingung membuat persyaratan balik ke Jakarta. Di sisi lain, saya sudah tidak memiliki pekerjaan di kampung," kata Bekti, Senin.
Ia mengatakan rencananya hari ini dirinya akan mencari kelengkapan untuk kembali merantau ke Jakarta, selain Surat Izin Keluar Masuk. Bekti berharap pemerintah daerah memberikan informasi mengenai persyaratan pergi ke luar kota. Keputusan balik ke Jakarta sudah bulat karena selama ini mencukupi kebutuhan keluarga dari perantauan.
"Kalau syaratnya rapid test, biayanya berapa. Lalu apa ada surat pengantar dari desa, saya belum tahu,” katanya.
Kepala Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Gunung Kidul Immawan Wahyudi mengatakan SIKM bisa diakses secara daring. Setelah mendapatkan formulirnya kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan.
“Untuk memastikan keperluan apa ke luar kota dan ke puskesmas terkait dengan status kesehatan. Surat keterangan harus ada, cukup kelurahan yang menerbitkan,” terang Immawan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Penularan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Gunung Kidul Sumitro mengatakan berdasarkan Surat Edaran (SE) dari Gugus Tugas Pusat, perjalanan dengan moda transportasi umum harus dengan rapid test dan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendiagnosis COVID-19.
"Hasil rapid test hanya berlaku tiga hari, PCR berlaku enam hari,” kata Sumitro.
Ia mengaku Pemkab Gunung Kidul belum bisa menyediakan karena terbentur aturan sehingga warga harus tes mandiri di rumah sakit. Pihaknya belum memiliki peraturan bupati (perbub) tentang pelayanan kesehatan tersebut.
“Kami masih menginventarisir fasilitas kesehatan yang bisa melayani itu seperti PKU, Panti Rahayu bisa melayani untuk rapid test. Kalau PCR baru Panti Rahayu,” katanya.
Sumitro mengatakan warga yang melakukan rapid test dan PCR tidak dapat menggunakan BPJS Kesehatan. Adapun biaya rapid test berkisar Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu dan PCR sekitar Rp2 juta. “Kami tidak berani memfasilitasi pelayanan tersebut karena belum ada perdanya,” katanya.