REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arie Lukihardianti, Antara
Memasuki masa kemarau, ada satu penyakit yang harus diwaspadai selalu di Tanah Air. Penyakit itu adalah Demam Berdarah Dengue atau DBD.
Faktanya saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat penambahan jumlah kasus terjadi 100 hingga 500 kasus per hari di berbagai daerah Indonesia. "Kalau kita lihat secara keseluruhan ada 68 ribu kasus demam berdarah di seluruh Indonesia," kata Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Senin (22/6).
Ia mengatakan biasanya puncak demam berdarah tersebut terjadi setiap bulan Maret. Namun, pada 2020 ada perbedaan, jumlah kasus masih terus bertambah hingga bulan Juni.
"Artinya angka ini sesuatu yang agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya," ujar Nadia.
Selain itu, dari analisis yang dilakukan Kemenkes ditemukan bahwa provinsi yang jumlah kasus Covid-19 tinggi juga memiliki kecenderungan angka kasus DBD tinggi pula. Provinsi-provinsi tersebut di antaranya Jawa Barat, Lampung, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sulawesi Selatan.
Lebih rinci lagi, dari 460 kabupaten dan kota yang melaporkan adanya kasus DBD, sebanyak 439 di antaranya juga melaporkan adanya kasus Covid-19 di daerah itu. "Jadi ini ada infeksi ganda," katanya.
Dari jumlah akumulatif secara nasional sebanyak 68 ribu tersebut, Kemenkes mencatat angka kematian yaitu 346 jiwa yang tersebar di berbagai daerah terutama provinsi dengan kasus Covid-19 tinggi.
Ia mengatakan jika melihat kembali asal penyakit tersebut pertama kali ditemukan di Tanah Air pada 1968 kondisinya juga tidak jauh berbeda dengan pandemi Covid-19. "Angka kematian dan angka kesakitannya 50 persen," katanya.
Namun pada saat ini pemerintah sudah bisa menurunkan angka kematian akibat demam berdarah bahkan hingga di bawah satu persen dengan target tidak ada kematian lagi.
Sementara itu upaya penurunan angka kesakitan diakui Nadia masih berfluktuasi. Apalagi, pada 2016 Indonesia pernah mengalami kejadian luar biasa yakni angka kesakitan masih cukup tinggi.
"Sebelum kejadian luar biasa itu kita bisa menekan di bawah 20 persen dan jangan sampai kejadian di 2016 terulang kembali," katanya.
Warga diminta memperhatikan dan mengetahui gejala demam berdarah untuk mencegah penyakit DBD berkembang. "Perhatikan gejala DBD, jangan terlambat ke RS, bila ada gejala demam tinggi tiga hari tanpa sesak atau batuk, atau suara sesak. Perhatikan adakah bintik-bintik merah atau gusi berdarah, atau mimisan sebagai tanda awal DBD," kata Nadia.
Meskipun saat ini tengah terjadi wabah Covid-19, Nadia mengatakan orang yang memiliki gejala DBD harus segera mengunjungi fasilitas kesehatan untuk mendapatkan perawatan dengan segera. Nadia menjelaskan bahwa penyakit DBD juga merupakan penyakit infeksi seperti Covid-19 sehingga bisa dilakukan pencegahan dengan menjaga imunitas atau sistem kekebalan tubuh.
Dia juga meminta agar fasilitas kesehatan pun harus siap menerima pasien penyakit DBD meskipun saat ini banyak menangani pasien Covid-19. Nadia meminta masyarakat melakukan pemberantasan sarang nyamuk di rumah dikarenakan dalam keseharian berada di rumah melaksanakan PSBB.
Selain itu, dia meminta agar ruangan sekolah ataupun kantor harus dibersihkan agar tidak menjadi sarang nyamuk karena lama tidak digunakan. "Untuk kantor dan sekolah, karena gedung ini sudah lama tidak ada aktivitas pastikan untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk di sekolah dan kantor oleh petugas kebersihan dengan menerapkan jaga jarak dan menggunakan masker," jelas dia.
Dia juga menyarankan warga agar memastikan tidak ada air pada bak-bak penampungan baik di sekolah, mushala, masjid. Masyarakat juga bisa memberantas jentik nyamuk dengan menaburkan obat disinfektan.
Ahli infeksi dan pediatri tropik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) dr Mulya Rahma Karyanti mengingatkan masyarakat mewaspadai tujuh tanda bahaya penyakit DBD. "Tujuh tanda bahaya ini biasanya muncul pada hari ketiga seperti sakit perut," kata Mulya Rahma saat diskusi daring.
Tanda selanjutnya yaitu orang yang terjangkit DBD akan merasa lemas, pendarahan spontan, pembesaran hati, penumpukan cairan hingga penurunan trombosit hingga di bawah 100 ribu. "Itu khas sekali ya bahaya DBD, yang kita takuti di hari ketiga atau yang disebut juga fase kritis," katanya.
Pada fase ketiga tersebut, ujar dia, bisa terjadi kebocoran pembuluh darah. Apabila itu terjadi maka aliran darah ke otak otomatis juga berkurang sehingga orang tersebut ingin tidur saja.
Dalam kondisi tersebut,asupan makanan dan minuman juga akan sulit sebab pasien akan sering mengalami muntah ditambah kondisi dehidrasi atau kehilangan cairan tubuh. Selain itu, orang yang terinfeksi virus dengue juga ditandai tidak buang air kecil lebih dari empat hingga enam jam terutama terjadi pada anak-anak.
"Ini tanda-tanda yang mesti diwaspadai oleh orang tua dan masyarakat secara umum," ujarnya.
Kemudian, kata dia, beberapa tanda lain yang harus diwaspadai masyarakat ialah pendarahan kulit misalnya mimisan, kulit berdarah hingga memar. Terkait usia, penyakit yang disebabkan oleh nyamuk aedes aegypti tersebut dapat menjangkit siapa saja mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. "Namun saat ini trennya kita lihat lebih banyak ke remaja bahkan mereka datang dengan fase kritis," katanya.
Jawa Barat (Jabar) merupakan salah satu daerah dengan penderita DBD cukup banyak. Pekan lalu, Kepala Dinas Kesehatan Jabar, Berli Hamdani, mengatakan di Jabar kasus DBD terbanyak ada Kota Bandung.
"Pada Januari-Mei 2020 ini, di Kota Bandung kasus DBD nya mencapai 1.748 kasus dengan 9 kematian," ujar Berli.
Berli mengatakan, berdasarkan data yang dilaporkan ke Dinkes Jabar, kasus DBD pada 2020 di Jabar adalah pada Januari ada 2.213 kasus dengan 20 kematian. Kemudian, Februari ada 2.479 kasus dengan 18 kematian, Maret 2.942 kasus dengan 23 kematian, April 888 kasus dengan 10 kematian (yang lapor hanya 12 Kab/Kota). Serta Mei, 759 kasus dengan 7 kematian (yang melaporkan 14 kab/kota).
Menurut Berli, untuk kematian terbanyak di Jabar, terjadi di Kabupaten Cirebon. Yakni, ada 11 kematian dengan 447 kasus sampai akhir Mei ini. Kematian kedua terbanyak di Kota Tasik ada 8 kematian dengan 413 kasus sampai akhir Mei.
"Tapi, di Republika sudah disebutkan sampai minggu kedua Juni hampir 500 kasus dengan 11 kematian ya di Kota Tasikmalaya ini," katanya. Menurut Berli, kalau membaca berita kasus DBD di Kota Tasikmalaya tersebut, maka sudah terjadi KLB DBD. "Karena, sudah ada yang meninggal 11 orang (menurut berita media)," katanya.
Berli menjelaskan, pengertian KLB atau Kejadian Luar Biasa adalah kalau jumlah kasus sudah dua kali lipat atau lebih dibandingkan dengan data di tahun sebelumnya dalam periode yang sama. "Misalnya, Januari-Mei 2020 dibandingkan dengan Januari-Mei 2019. Atau, terjadi kematian walaupun hanya 1 orang yang meninggal yang diakibatkan penyakit tersebut," katanya.
Berli mengatakan, upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) Jabar sebetulnya sudah sangat masif dilakukan. Termasuk, di tahun 2020 ini walaupun upaya PSN tersebut dilakukan sambil menghadapi pandemi Covid-19. "Kalau dibandingkan antara tahun 2019 (sebagai siklus lima tahunan) dengan tahun 2020, dalam periode yang sama sudah mendekati duplikasi kasus. Ini terjadi diduga kerena beberapa hal," katanya.
Berli menjelaskan, duplikasi kasus DBD terjadi karena beberapa penyebab. Yakni, akibat penularan transovarial. Artinya, telur nyamuk yang sudah mengandung virus DBD. Sehingga begitu menjadi nyamuk dewasa tak perlu lagi menggigit penderita DBD, sudah bisa langsung menginfeksi orang lain.
Penyebab kedua, kata dia, adanya kemungkinan resistensi insektisida kareba fogging yang terlalu sering dan berdekatan waktunya.
"Kondisi pandemi, orang-orang tinggal di rumah. Nah PSN dan larva-seeding di rumah-rumah harus lebih ditingkatkan. Peran serta masyarakat juga harus lebih ditingkatkan karena akses terbaik adalah dari penghuni rumah tersebut," papar Berli.
Terkait tata kelola laporan DBD untuk Juni, kata dia, dilaporkan per 10 Juli. Namun, hingga pekan kedua Juni ini, masih ada 9 kabupaten/kota yang belum mengirimkan data DBD sampai dengan bulan Mei. Kesembilan daerah tersebut, adalah Kab bogor, Kab Sukabumi, Kab Cianjur, Kab Bandung, Kab Garut, Kab Majalengka, Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota Banjar. "Hal ini terjadi karena kesulitan penegakan diagnosa," katanya.
Sehingga, kata dia, kebanyakan kasus DBD dikategorikan suspect dan pemeriksaan laboratoriumnya pun secara manual hanya melihat hasil pemeriksaan darah saja. "Jadi tak sampai konfirmasi virus dengue-nya," katanya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya mencatat peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD). Hingga pertengahan Juni 2020, DBD di Kota Tasikmalaya hampir menembus 500 kasus, sebanyak 11 orang di antaranya meninggal dunia.