Senin 22 Jun 2020 13:44 WIB

Industri Makanan Beijing Hadapi Rintangan Aturan

Aturan penjualan bahan makanan satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Fuji Pratiwi
Turis memakai masker berjalan melewati restoran dan toko yang tutup di daerah Tembok Besar Badaling, di Beijing, China (ilustrasi). Meski sudah dibuka, banyak tantangan yang dihadapi industri makanan dan minuman di Beijing, China, saat ini, termasuk aturan dari pemerintah setempat.
Foto: EPA-EFE/Roman Pilipey
Turis memakai masker berjalan melewati restoran dan toko yang tutup di daerah Tembok Besar Badaling, di Beijing, China (ilustrasi). Meski sudah dibuka, banyak tantangan yang dihadapi industri makanan dan minuman di Beijing, China, saat ini, termasuk aturan dari pemerintah setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Meski sudah dibuka, banyak tantangan yang dihadapi industri makanan dan minuman di Beijing, China, saat ini. Para pelaku usaha makanan dan minuman harus menghadapi gangguan persediaan makanan, pelanggan yang gelisah dan banyak peraturan lainnya.

Aturan pemerintah juga mengharuskan pengujian wajib bebas Covid-19 untuk semua staf setelah ditemukan kasus infeksi Covid-19 terhadap pekerja restoran.

Baca Juga

Pejabat distrik telah memerintahkan beberapa restoran untuk memotong jam operasionalnya. Sementara bar di Sanlitun yang terkenal dengan pemandangan kehidupan malamnya, kini telah ditutup.

Di antara yang paling terpukul adalah restoran Jepang. Khususnya setelah virus corona jenis baru penyebab Covid-19 ditemukan di papan potong salmon impor di pasar Xinfadi. Kejadian ini mendorong pihak berwenang menghentikan impor ikan dari Eropa dan supermarket menariknya dari rak mereka.

Pada akhir pekan lalu, China juga melarang impor ayam beku dari Tyson Food setelah adanya wabah Covid-19 di pabrik daging dan produk olahan daging AS.

Pemilik restoran jepang Chris Niu (35 tahun) mengatakan, ketika Beijing mengumumkan akan menaikkan tingkat siaga pekan lalu, ia memutuskan untuk menutup toko pada hari berikutnya. Niu memastikan, keselamatan staf mereka menjadi prioritas.

Meskipun angka infeksi masih rendah, mereka tidak ingin mengambil risiko karena memiliki tanggung jawab besar terhadap pengunjung. "Kami ingin memberikan pengunjung pengalaman makan yang menyenangkan. Jika mereka tidak bisa menikmatinya secara 100 persen, maka tidak ada gunanya," kata Niu.

Sampai saat ini, Niu terus membayar 10 stafnya dengan gaji separuh dari seharusnya. Cara ini dilakukan ketika ia harus menutup bisnisnya antara akhir Januari hingga pertengahan April karena wabah di China.

Para pemilik usaha kuliner yang tetap membuka gerai mereka pada pekan lalu mengatakan telah melihat penurunan bisnis mereka antara 30 hingga 70 persen. Para pemilik restoran juga harus bersaing dengan aturan yang berbeda dari pemerintah. Beberapa daerah melarang restoran menjual makanan laut impor, sedangkan yang lain dilarang melayani olahan salmon.

Perusahaan pemasok seafood asal Singapura Jumbo Group, yang memiliki satu outlet di Beijing tepatnya di mal kelas atas, SKP, mengatakan, mereka telah diberitahu tidak bisa menjual makanan laut langsung dari pasar lokal. Mereka harus segera mencari sumber alternatif.

Pasokan kepiting dan lobster Jumbo Group tidak terpengaruh karena berasal dari Shanghai. "Tapi, segalanya berubah setiap hari," kata Direktur Eksekutif Jumbo Group, Ang Kiam Men (58 tahun).

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement