Senin 22 Jun 2020 14:07 WIB

PBB: Ancaman Keamanan Mesir Bukan dari Libya

Mesir menyatakan kesiapannya untuk intervensi militer di Libya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di depan kilang minyak Ras Lanouf, di timur Libya, 5 Maret 2011.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di depan kilang minyak Ras Lanouf, di timur Libya, 5 Maret 2011.

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Perwakilan Tetap PBB untuk Libya Taher El-Sonni mengatakan, ancaman terhadap keamanan nasional Mesir tidak datang dari Libya. Hal itu dia utarakan setelah Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi memerintahkan pasukannya untuk siap mengemban misi keamanan di luar negeri, sebuah sinyal yang ditujukan kepada Libya.

"Ancaman terhadap keamanan nasional Mesir bukan dari Libya dan menarik garis fiktif di dalamnya atau mengancam untuk mengirim pemuda suku kami di belakang tank-tank Anda," kata El-Sonni melalui akun Twitter pribadinya pada Ahad (21/6).

Baca Juga

Dia pun memperingatkan Mesir agar tak memberi dukungan pada pimpinan Libyan National Army (LNA) Jenderal Khalifa Haftar. "Selama bertahun-tahun kami telah menyarankan Pemerintah Mesir untuk tidak bertaruh pada penjahat perang dan bahwa Libya bukanlah wilayah di perbatasannya, melainkan sebuah negara bersatu dan wilayahnya saling melengkapi satu sama lain," ujarnya.

Sebelumnya, anggota Dewan Tinggi Libya Abdurrahman Shater mengecam ancaman intervensi militer yang dikemukakan Sisi. Dewan Tinggi Libya merupakan sekutu Government of National Accord (GNA), pemerintahan Libya yang diakui PBB. “Pidato al-Sisi di depan kerumunan pasukannya di dekat perbatasan memukul genderang perang,” ujar Shater melalui akun Twitter pribadinya, dikutip laman Aljazirah.

Menurut Shater, Mesir telah melakukan intervensi selama empat tahun di Libya. Namun Sisi menolak mengakuinya. Sisi, kata Shater, justru membuat klaim dan dalih menaruh bahwa dirinya menaruh perhatian pasa keamanan Libya.

Shater menilai keamanan dan demokrasi Libya telah terancam sejak Sisi bersikeras membawa pasukannya ke negaranya. “Lepaskan tangan Anda dari kami dan jangan ulangi tragedi Anda di Yaman,” ucapnya.

Saat mengunjungi pangkalan udara di Matrouh pada Sabtu (20/6), Sisi menyinggung tentang kemungkinan mengutus misi militer eksternal jika diperlukan. “Bersiaplah untuk melakukan misi apa pun, di sini di dalam perbatasan kita atau jika perlu di luar perbatasan kita,” kata Sisi.

Pada kesempatan itu, dia turut membahas tentang konflik di Libya. Sisi mengklaim bahwa Mesir tidak ingin melakukan intervensi di negara tersebut. Ia lebih menyukai solusi politik. Namun menurutnya saat ini situasinya berbeda. Dia memperingatkan agar pasukan GNA, tidak melewati garis depan Sirte dan Al-Jufra. “Jika beberapa orang berpikir bahwa mereka dapat melewati garis depan Sirte-Jufra, ini adalah garis merah bagi kita,” ujarnya.

Sisi memperingatkan, intervensi langsung Mesir di Libya kini telah memperoleh legitimasi internasional. “Baik dengan hak untuk membela diri atau atas permintaan satu-satunya otoritas terpilih yang sah di Libya, yang merupakan Dewan Perwakilan Rakyat (Tobruk),” ucapnya.

Saat ini, Sirte masih dihuni pasukan LNA pimpinan Jenderal Khalifa Haftar. Sudah lebih dari setahun LNA melancarkan serangan ke basis GNA di Tripoli. Pada April lalu, Mesir bersama Rusia, UEA, dan Prancis mendukung agresi yang dilancarkan LNA ke Tripoli.

GNA mengecam dukungan tersebut dan mulai melakukan konsolidasi dengan Turki. Dengan bantuan Ankara, GNA berhasil memukul mundur pasukan LNA dan merebut kembali lokasi-lokasi strategis, termasuk Tarhuna, benteng terakhir Haftar di Libya barat. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement