Senin 22 Jun 2020 14:29 WIB

Eropa Siapkan Pasukan Medis Hadapi Gelombang Kedua Covid-19

Eropa menyiapkan tenaga medis untuk perawatan intensif menghadapi Covid-19.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Sejumlah warga melihat konvoi truk pembawa rumah sakit modular untuk orang-orang yang terkena virus Corona saat tiba di Ospedale del Mare, Naples, Italia, Senin (6/4). Lusinan warga yang mengalami masa lockdown di rumah menyambut kedatangan konvoi truk tersebut. Pemerintah Italia menerapkan lockdown nasional untuk mengurangi penyebaran virus Corona.
Foto: EPA-EFE/CIRO FUSCO
Sejumlah warga melihat konvoi truk pembawa rumah sakit modular untuk orang-orang yang terkena virus Corona saat tiba di Ospedale del Mare, Naples, Italia, Senin (6/4). Lusinan warga yang mengalami masa lockdown di rumah menyambut kedatangan konvoi truk tersebut. Pemerintah Italia menerapkan lockdown nasional untuk mengurangi penyebaran virus Corona.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Warga Eropa kini tengah menikmati pelonggaran lockdown atau karantina wilayah secara bertahap yang dilakukan untuk mengekang penularan virus corona tipe baru atau Covid-19. Namun, rumah sakit di kawasan tersebut harus bersiap untuk gelombang kedua infeksi virus Covid-19.

Beberapa spesialis perawatan intensif berusaha untuk merekrut staf yang lebih permanen. Sementara negara Eropa lain ingin membuat "pasukan" cadangan profesional medis yang siap ditempatkan di mana pun jika diperlukan untuk bekerja di bangsal dengan pasien yang sakit parah.

Baca Juga

Negara-negara Eropa telah memberikan kursus kilat kepada petugas medis tentang cara menangani pasien Covid-19. Kini banyak negara Eropa mencari cara untuk melatih kembali staf untuk menghindari kekurangan pekerja, kunci jika ada gelombang kedua dari virus corona baru ini.

"Kami membutuhkan pasukan kesehatan," ujar Maurizio Cecconi, presiden terpilih dari Masyarakat Eropa untuk Perawatan-Perawatan Intensif (ESICM), yang menyatukan tenaga medis dari seluruh dunia yang bekerja di bangsal dengan pasien sakit parah.

Cecconi, yang mengepalai departemen perawatan intensif di rumah sakit Humanitas di Milan, mengatakan, staf medis harus lebih fleksibel dalam pekerjaan yang mereka lakukan dan lebih banyak bergerak. "Jika ada gelombang besar lainnya, kita harus siap mengerahkan dokter dan perawat dari daerah terdekat di Italia. Ini tidak banyak terjadi pada gelombang pertama," katanya kepada Reuters.

Banyak negara yang tidak siap menghadapi pandemi Covid-19 pada Maret dan April. Negara-negara dengan cepat melatih kembali petugas medis untuk bekerja dengan pasien dengan kasus penyakit yang parah. Mereka dilatih untuk mengecek jumlah dan mengganti mereka yang jatuh sakit.

Beberapa negara di rumah sakit mengirim mahasiswa kedokteran dan pensiunan dokter untuk membantu di ruang perawatan intensif ketika staf rumah sakit kewalahan. Mereka yang paling terpukul oleh pandemi itu harus menyediakan lebih banyak tempat tidur dan peralatan penting untuk unit perawatan akut, dan bahkan beberapa negara membangun rumah sakit baru.

Namun masalah dan kekurangan masih ada. Italia, misalnya, mungkin perlu meningkatkan 50 persen jumlah ahli anestesi, ahli resusitasi, dan tenaga medis lain yang telah bekerja di perawatan intensif. Hal itu menurut masyarakat perawatan intensif Italia atau Societa Italiana di Anestesia Analgesia Rianimazione e Terapia Intensiva (SIAARTI).

Di seluruh Eropa, rumah sakit telah melatih kembali ahli bedah, ahli jantung, dokter penyakit dalam dan perawat dari departemen lain. Pemerintah telah memindahkan mereka ke unit perawatan intensif bila diperlukan.

Menurut presiden ESICM dan kepala perawatan intensif di Pusat Medis Universitas Utrecht, di Belanda, Jozef Keseciouglu, banyak yang menghadiri kursus kilat tentang cara menangani pasien Covid-19. "Kami memberi mereka pekerjaan dengan tanggung jawab yang kurang, seperti membersihkan pasien, membalikkan pasien, memeriksa paru-paru atau melihat pindaian," katanya.

Dia mengatakan, spesialis perawatan intensif terus melakukan pekerjaan yang paling rumit, seperti menangani tabung di tenggorokan pasien atau menyesuaikan ventilasi mekanis. Dia pun berencana untuk memanggil kembali orang yang sama untuk menawarkan mereka lebih banyak pelatihan.  

Dalam keadaan normal, pekerja perawatan intensif menjalani pelatihan bertahun-tahun. "Kita tidak harus menunggu sampai gelombang baru datang, kita harus memberi mereka pelatihan reguler," kata dia.

Salah satu rumah sakit universitas terbesar di Eropa, Eramus Medical Centre Rotterfam mengatakan, Belanda tengah mencoba untuk merekrut lebih banyak pekerja terampil dan berharap untuk mempersempit kesenjangan struktural dalam tenaga perawatan intensif.

Sementara, SIAARTI mengatakan mahasiswa kedokteran yang berspesialisasi dalam kedokteran perawatan intensif harus diintegrasikan sepenuhnya ke bangsal selama dua tahun terakhir dari pelatihan lima tahun mereka. SIAARTI juga telah merekomendasikan insentif keuangan yang ditawarkan untuk menarik lebih banyak siswa.

Komisi Eropa, eksekutif Uni Eropa, mendanai transfer staf medis lintas batas ke negara-negara yang paling terkena dampak pada puncak krisis Covid-19. Pada April, tim "dokter terbang" dikirim dari Norwegia dan Rumania ke Italia.

Tetapi percobaan telah gagal mengumpulkan banyak dukungan, dan Cecconi mengatakan, memindahkan dokter dari satu negara ke negara lain harus menjadi pilihan tetapi bukan pilihan pertama karena hambatan bahasa mungkin membuat mereka kurang efektif. Beberapa pasien juga dipindahkan untuk menerima perawatan. Prancis memindahkan beberapa dokter ke daerah yang kurang terpengaruh di negara itu dan mengirim yang lain ke Jerman, yang juga menerima pasien Covid-19 dari Italia.

Namun demikian, Cecconi memperingatkan risiko transportasi dan komplikasi logistik. "Sering kali pasien kami sangat sakit. Saya lebih suka memiliki orang-orang terampil yang tahu cara bekerja di lingkungan saya," katanya.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement