Senin 22 Jun 2020 16:31 WIB

Tokoh Islam Relakan Piagam Jakarta untuk Keutuhan Indonesia

Tokoh Islam dengan kebesaran hati merelakan Piagam Jakarta untuk Indonesia.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Tokoh Islam dengan kebesaran hati merelakan Piagam Jakarta untuk Indonesia.  Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.
Foto: wikipedia
Tokoh Islam dengan kebesaran hati merelakan Piagam Jakarta untuk Indonesia. Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Pancasila sebagai ideologi negara dalam sejarahnya mengalami dinamika dalam apa yang disebut 'Piagam Jakarta'. Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 yang otentik disebut bersumber pada Piagam Jakarta.  

Lahirnya Piagam Jakarta itu merupakan kesepakatan dari perdebatan antara kalangan nasionalis dan Islam. Sebagai persiapan membentuk sebuah negara Indonesia yang merdeka, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945.

Baca Juga

BPUPKI dibentuk untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara. Salah satu yang dibahas dalam rapat-rapat penting badan ini adalah menyangkut landasan filosofis negara yang hendak didirikan.

Pada sidang pertama, muncul kelompok yang memilih kebangsaan sebagai dasar negara yang memisahkan unsur agama dan negara, dan kelompok yang memilih Islam sebagai dasar negara.

Mengutip buku berjudul "Piagam Jakarta" oleh Linda Asy-Syifa, disebutkan bahwa Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang disusun oleh Muhammad Yamin tidak memuat satu pun pidato para anggota nasionalis Islam. Pidato yang dimuat hanyalah tiga, yakni pidato Soekarno, Yamin dan Soepomo. 

Sementara itu, BPUPKI juga merumuskan bentuk pemerintahan melalui pemungutan suara. Terdapat 45 suara pemilih dasar negara kebangsaan, dan 15 suara memilih Islam sebagai dasar negara.

Untuk mengakomodasi kepentingan kelompok nasionalis dan Islam itu, dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang untuk menyelenggarakan tugas tersebut.

Sembilan orang itu di antaranya, Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin.

Akhirnya, rumusan teks proklamasi yang dirancang  Panitia Sembilan ini kemudian disetujui pada 22 Juni 1945, yang diberi nama 'Piagam Jakarta'. Nama Piagam Jakarta sendiri diusulkan Moh Yamin. 

Perumusan kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta itu salah satunya memuat sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang diikuti kalimat yang berbunyi, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Soekarno kemudian membacakan Piagam Jakarta tersebut pada 10 Juli 1945 pada sidang BPUPKI.

Sehari setelah pidato Soekarno itu, seorang Protestan anggota BPUPKI bernama Latuharhary menyatakan keberatan langsung atas tujuh kata di belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta.

Beberapa orang anggota BPUPKI yang keberatan juga termasuk Wongsonegoro dan Hosein Djajadiningrat. Sementara Agus Salim melihatnya secara netral, walaupun cenderung mendukung Piagam Jakarta. 

Prof Dr Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul "Mencari Autensitas dalam Dinamika Zaman", menuliskan bahwa rumusan itu hanya bertahan selama 57 hari hingga akhirnya anak kalimat dari kata ketuhanan dicoret dari batang tubuh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 karena alasan politis dan agama.

Mengutip Slamet Sutrisno dalam buku berjudul "Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah" disebutkan, bahwa pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sehingga menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 itu terjadi dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945. Rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta diubah menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'  

Sebelumnya pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti.

Penghapusan 'tujuh kata' dalam sila pertama Piagam Jakarta itu disebabkan adanya desakan dari anggota PPKI asal bagian Timur Indonesia. Jika 'tujuh kata' itu dicantumkan, pihak Kristen dari Indonesia bagian timur tidak mau bersatu dengan RI yang baru saja diproklamasikan. Wakil Indonesia Timur menilai kata-kata itu terkesan diskriminatif terhadap golongan minoritas.

Bung Hatta mengatakan, bahwa desakan itu disampaikan oleh seorang Jepang yang merupakan pembantu pribadi Laksamana Maeda, Nizijima, pada 17 Agustus 1945, sebelum memimpin rapat PPKI keesokan harinya. 

Menurut Hatta, utusan Kaigun (Angkatan Laut) mengatakan kepadanya bahwa wakil Protestan dan Katolik yang dikuasai oleh Angkatan laut Jepang keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 dalam Piagam Jakarta. Kalimat itu dinilai tidak mengikat mereka, dan hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.  

Hatta yang memiliki pandangan agar Indonesia tidak terpecah belah dan memilih persatuan lantas memanggil para tokoh golongan Islam untuk merundingkan masalah tersebut pada pagi hari pada 18 Agustus 1945. Tokoh-tokoh itu di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan. 

Dalam sidang di hari yang sama, hasil lobi antara wakil golongan kebangsaan dan Islam menyepakati diubahnya sila pertama Pancasila tersebut. Saat itu, Teuku Moh. Hassan dari Aceh mewakili golongan kebangsaan, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Yogyakarta mewakili golongan Islam, sementara Bung Hatta mendampingi. (Kiki Sakinah)  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement