REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengungkapkan hingga pertengahan Juni 2020, jumlah narapidana yang berulah kembali setelah dikeluarkan melalui program asimilasi dan integrasi di tengah pandemi Covid-19 sebanyak 222 orang. Angka itu sebenarnya hanya 0,6 persen dari jumlah 40.020 narapidana program itu.
"Semenjak dilakukan program asimilasi di rumah dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19, data pencabutan karena pelanggaran atas ketentuan program dimaksud per 15 Juni 2020 sebanyak 222 klien, dari jumlah 40.020 narapidana atau sebesar 0,6 persen," ujar Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (22/6).
Yasonna menyampaikan hal tersebut dalam paparannya pada rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Senin (22/6). Menurut dia, angka tersebut menunjukkan efektivitas pengeluaran narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi di tengah pandemi Covid-19.
Yasonna mengatakan capaian tersebut tidak lepas dari adanya pengawasan, bimbingan, dan koordinasi antar penegak hukum terhadap para narapidana dan anak yang dikeluarkan. “Hal ini dapat tercapai dikarenakan adanya pengawasan, bimbingan, dan koordinasi penegak hukum, serta pengembangan jaringan dengan pemda hingga level RT/RW/pamong desa,” ujar Yasonna.
Dalam kesempatan itu, Yasonna juga menyinggung mengenai tata pelaksanaan protokol kesehatan para petugas pemasyarakatan dan warga binaan menyambut tatanan era normal baru. Dia menuturkan, petugas di lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun rumah tahanan negara (rutan) harus dalam keadaan sehat, wajib dicek suhu tubuh dan mencuci tangan menggunakan sabun, serta menggunakan alat pelindung diri.
Adapun bagi warga binaan wajib menggunakan masker selama berada di luar blok hunian. “Bagi warga binaan yang diduga sebagai OTG (orang tanpa gejala), ODP (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan) dilakukan pemeriksaan rapid test maupun PCR atau PCM,” ujar Yasonna.