REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masjid adalah tempat melaksanakan ibadah dan berbagai kegiatan keagamaan. Tapi umat Islam di Indonesia perlu juga belajar dari masjid-masjid yang berperan besar menjadi pusat peradaban.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, KH Didi Supandi mencontohkan Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Andalusia dan Masjid Al-Azhar di Mesir yang menjadi pusat peradaban. Contoh-contoh peran masjid itu dibawa oleh para pendakwah Islam yang masuk ke Indonesia, yang dikenal sebagai wali songo.
"Jika kita memperhatikan Masjid Al-Azhar, ia bukan saja sebagai pusat kegiatan ibadah mahdhah yang dalam arti sempit saja atau dakwah, tapi masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan keumatan secara menyeluruh dan komprehensif," kata KH Didi saat Webinar bertema 'Hut Kota Jakarta ke-493 dan Pembangunan Peradaban Islam' yang diselenggarakan LSN DKI Jakarta dan HATAM didukung oleh Republika, Senin (22/6).
Ia menjelaskan, Masjid Al-Azhar yang sudah berusia seribu tahun, sampai hari ini menjadi mercusuar peradaban Islam. Dalam sejarah diceritakan bahwa Baghdad diserang pasukan Mongol. Saat itu banyak kitab-kitab dan ilmu pengetahuan serta buku-buku Islam yang sangat berharga dibakar. Masjid dan Universitas Al-Azhar menjadi penyelamat khazanah dari warisan ilmu pengetahuan Islam yang ada di sana.
"Jadi saya ingin mengatakan, masjid itu sebaiknya segera dikelola sedemikian profesionalnya dengan kemampuan para orang-orang yang diberi amanah (mengelolanya) dengan wawasan yang lebih luas tentunya," ujarnya.
KH Didi mengatakan, mengelola masjid secara profesional sangat penting karena pengurus masjid sebenarnya menjadi pemimpin atau lokomotif pembawa gerbong keumatan. Jadi sekecil apapun kondisi masjid itu seharusnya memberikan kontribusi keumatan.
Jadi masjid yang menjadi mercusuar peradaban umat atau peradaban Islam adalah masjid yang kegiatan-kegiatannya diisi dengan kegiatan yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta berkaitan dengan ekonomi keumatan.
Ia mencontohkan peran masjid dalam mendukung ekonomi keumatan. Di Thailand ada masjid yang memiliki lembaga keuangan yang sangat bagus. Masyarakat dan usaha kecil di sekitar masjid dibantu dengan pinjaman tanpa bunga.
"Bantuannya tidak riba dan dengan kerelaan antara satu dengan yang lainnya, ini salah satu contoh bahwa masjid itu harus menjadi mercusuar yang harus memberikan kebaikan dan manfaat yang positif kepada orang banyak, jadi masjid bisa menjadi pusat kegiatan umat dan kemasyarakatan jika dikelola dengan baik," ujarnya.
KH Didi menegaskan bahwa masjid seharusnya dijadikan sebagai pusat dakwah, pusat pendidikan, dan pusat ekonomi. Semua harus diwujudkan dengan cara-cara yang halus dan kreatif. Sebab kreativitas masjid akan memberikan dampak positif kepada umat. Sehingga masjid tidak menjadi beban umat dengan hanya minta sumbangan terus ke umat, nanti orang-orang takut ke masjid.
Wartawan Senior Republika, Irwan Kelana menambahkan, di Jakarta banyak sekali masjid bersejarah dan tokoh-tokoh besar bersejarah. Menurutnya semua itu bisa dibuat atau dikemas dalam bentuk novel untuk dipublikasikan agar semakin banyak orang yang tahu.
"Untuk itu pemerintah daerah bisa mendorong itu atau diadakan lomba menulis tentang tempat bersejarah dan tokoh bersejarah di Jakarta," ujarnya.
Ia mengatakan, setelah diadakan lomba menulis selanjutnya dibuat buku dan diterbitkan. Kemudian setelah menjadi buku diberikan kepada sekolah-sekolah yang ada di Jakarta dari SD sampai SMA.
Irwan juga mengusulkan, setelah pandemi Covid-19 berlalu, Pemerintah DKI Jakarta perlu meningkatkan pariwisata halal di Jakarta. Misalnya meningkatkan atau mempromosikan wisata ziarah ke masjid-masjid bersejarah. Untuk itu pengurus Masjid harus bekerja lebih keras dan lebih profesional.
"Pemerintah DKI juga perlu bekerjasama dengan perusahaan travel, supaya mereka menjadikan kunjungan ke masjid-masjid bersejarah di Jakarta sebagai bagian dari perjalanan (wisata) mereka," ujarnya.