Selasa 23 Jun 2020 05:00 WIB

Gara-Gara Iuran BPJS Kesehatan, UU MA Diuji ke MK

UU tentang Mahkamah Agung sudah mengatur putusan lembaga itu mengikat.

Suasana sidang Pengujian Materiil di Mahkamah Konstitusi.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Suasana sidang Pengujian Materiil di Mahkamah Konstitusi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (22/6). Gugatan ini terkait iuran BPJS Kesehatan yang mengalami kenaikan selepas putusan MA.

Hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan, UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung sudah mengatur putusan lembaga itu mengikat. Karena itu, pembuat peraturan perundang-undangan semestinya tidak dapat membuat lagi kebijakan yang sudah dibatalkan.

Baca Juga

"Sebetulnya dengan frasa yang sekarang sudah mengikat, jangan membuat kayak gitu lagi," ujar dia dalam sidang.

Uji materi ini diajukan oleh pemohon, yakni mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Deddy Rizaldy, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Maulana Farras, serta wiraswasta Eliadi Hulu. Mereka meminta Mahkamah Konstitusi menambahkan frasa 'peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan bersifat final dan tidak boleh diundangkan kembali'.

Sementara itu, Pasal 31 ayat 4 UU Nomor 5 Tahun 2004 berbunyi: "peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai hukum mengikat".

Menurut hakim Arief, penambahan frasa tersebut tidak menghentikan pembuat peraturan perundang-undangan mengulang kebijakan yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung. "Kalau frasa ini dikabulkan, masih mungkin tidak presiden membuat perpres yang kayak begitu lagi? Mungkin, kan? Kalau begitu menunjukkan pada kita tatarannya adalah tataran implementasi," kata Arief Hidayat.

Ia menuturkan, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pasal atau undang-undang bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai hukum mengikat pun tidak langsung menghentikan pembuat undang-undang membuat norma yang sama. Menurut dia, tidak jarang hanya frasa yang diubah, sementara substansi sama, padahal yang dibatalkan adalah normanya. 

Selain itu, dia mengatakan, pembuat undang-undang memiliki pengertian norma yang diujikan saja yang dibatalkan. Sementara itu, norma dalam undang-undang lain tidak meski substansinya sama.

Selanjutnya, ia memberikan saran agar pemohon menguraikan pertentangan pasal yang diujikan dengan Pasal 28D UUD NRI 1945 agar tidak memunculkan penafsiran yang macam-macam dan memberikan kepastian hukum.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement