REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Di dalam kitab Lubab al-Hadits, Imam Jalaluddin al-Suyuthi mengutip hadits Nabi SAW yang bersumber dari Abu Hurairah yang berkata, “Kekasihku Rasulullah SAW telah berwasiat kepadaku. Lalu beliau berpesan kepadaku, “Wahai Abu Hurairah, shalatlah kamu secara berjamaah, kendati sambil duduk.”
Hadits ini menghentak orang yang mampu berdiri tetapi tidak shalat berjamaah. Tak hanya itu, ia juga kehilangan pahala sholat berjamaah. Nabi SAW melanjutkan sabdanya, “Sesungguhnya Allah akan memberimu (pahala) sekali shalat berjamaah (seperti) pahala dua puluh lima kali shalat (yang dilakukan) tanpa berjamaah.
Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tanqih al-Qaul al-Hatsits, sholat berjamaah yang paling dianjurkan adalah sholat Subuh pada hari Jumat dan sholat Subuh selain hari itu. Nabi SAW bersabda, “Sholat yang paling utama di sisi Allah SWT adalah sholat Subuh pada hari Jumat secara berjamaah.” (HR. Thabrani).
Bagi Syaikh Nawawi Banten, pahala sholat berjamaah sesudah itu berturut-turut adalah sholat Isya, sholat Ashar, sholat Dzuhur, dan sholat Maghrib. Sholat Subuh dan sholat Isya berada pada peringkat pertama dan kedua lantaran keduanya merupakan perintah yang paling berat dalam pelaksanaannya. Alasannya, karena kantuk dan dingin.
Namun di dalam hadits yang lain, dikenal juga shalat bardain yang berhadiah surga. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang shalat berdain secara berjamaah, maka akan masuk surga tanpa hisab.” (HR. Bukhari). Dalam pandangan Syaikh Nawawi Banten sholat bardain adalah sholat Subuh dan sholat Ashar karena pada dua waktu itu berhawa dingin.
Selain berpahala, sholat berjamaah juga membuat terbebas dari neraka dan kemunafikan. Nabi SAW bersabda, seperti dikutip Imam Jalaluddin al-Suyuthi, “Barangsiapa yang shalat berjamaah selama empat puluh hari, maka Allah akan menetapkan untuknya terbebas dari neraka dan kemunafikan.” Hanya saja, kata Syaikh Nawawi Banten, untuk meraihnya ada syaratnya.
Syaratnya adalah harus mendapatkan takbir pertama dalam sholat lima waktu selama masa empat puluh hari itu. Nabi SAW menegaskan, “Barangsiapa yang sholat berjamaah selama empat puluh hari dengan mendapatkan takbir pertama, maka ditetapkan untuknya dua pembebasan, yakni terbebas dari neraka dan kemunafikan.” (HR. Turmudzi).
Dalam kitab Tafsir Munir, Syaikh Nawawi Banten menggambarkan bahwa orang munafik adalah orang yang sesat seperti halnya agama Nasrani. Tanda orang munafik kata Nabi SAW ada tiga, “Jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa’i).
Sama seperti dalam hadits, Allah SWT secara lebih menukik juga menuding perilaku orang munafik yang juga ada tiga, “Apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. al-Nisa/4: 142).
Secara sosiologis, sholat berjamaah juga berefek positif untuk memperteguh kohesi sosial agar tetap bersatu dan sudi disatukan. Nabi SAW menegaskan, “Sholat berjamaah adalah rahmat. Ia lebih baik ketimbang dunia dan isinya. Berjamaah juga rahmat sedangkan perpecahan adalah siksaan.” (HR. Ahmad). Inilah “pahala sosial” shalat berjamaah.
Dalam perspektif historis, ketika Nabi SAW hijrah dari Mekah ke Madinah pada 622 Masehi, yang pertama dibangun adalah masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat sholat berjamaah tetapi juga untuk membangun komunikasi antara orang-orang Muhajirin asal Mekkah dan orang-orang Anshar sebagai penduduk asli Madinah.