REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Dadang Kurnia, Antara
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengklaim orang yang terinfeksi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) di wilayahnya menunjukkan tren menurun. Badan Intelijen Negara (BIN) yang pada sebulan terakhir menggelar tes Covid-19 secara masif pun telah meninggalkan Kota Pahlawan.
"Kemudian kami menggelar banyak tes cepat (rapid test) di beberapa tempat, kalau kemarin-kemarin bisa sekitar 300-an kasus baru per hari dan sekarang trennya menurun. Makanya BIN meninggalkan Surabaya karena tren (kasus)-nya menurun," ujarnya saat konferensi pers virtual di akun youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bertema Zona Tinggi, Bagaimana Beradaptasi?, Selasa (23/6).
Risma menyebutkan, dari 200 tempat tidur di rumah sakit yang disiapkan untuk warganya yang terinfeksi Covid, hingga kini belum terisi. Namun, tren penurunan kasus ini, kata Risma, tidak menghentikan Pemerintah Kota Surabaya dalam upaya mencari orang yang terinfeksi.
Risma menyebutkan, jika dulu upaya mencari kasus positif berdasarkan per kampung, kini strategi diubah dengan menggelar tes cepat per komunitas, misalnya ada komunitas guru, kemudian pedagang restoran, pedagang kecil-kecil yang berjualan di dekat rumah sakit rentan tertular Covid-19. Pasar-pasar juga tak luput dari pengujian tes cepat.
"Hasilnya semua (penderita positif) memang bukan warga Surabaya. Tetapi kami harus terus lakukan upaya ini supaya tahu tracing-nya sehingga mereka ada di mana dan kami melakukan rapid test massal kemudian menindaklajuti hasil positif yang terinfeksi," katanya.
Risma menyebutkan, pihaknya jugamembentuk kampung tangguh, pasar tangguh, mal tangguh, tempat ibadah tangguh, kawasan perdagangan, sentra tangguh, dan transportasi tangguh dengan harapan untuk memutus mata rantai penularan virus. Pada malam hari, ada petugas yang piket di beberapa tempat untuk memantau warga yang tidak menggunakan masker wajah.
"Memang berat untuk pengawasannya, tetapi kami coba lakukan konsisten tiap hari," ujarnya.
Kepala Satpol PP Kota Surabaya Eddy Christijanto mengaku, setelah terbitnya Perwali Surabaya nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19, pihaknya terus melakukan pengawasan, operasi, hingga razia di berbagai bidang. Tujuannya untuk mendisiplinkan masyarakat maupun pelaku usaha, dalam menjalankan protokol pencegahan penularan Covid-19.
Eddy mengatakan, salah satu perhatian adalah pelanggar perorangan yang tidak mengenakan masker. Sebab, kata dia, hampir 60 persen pelanggar adalah individu yang tidak menggunakan masker dan tidak menjaga jarak.
“Sesuai Perwali pasal 34, Satpol PP diperkenankan melakukan penyitaan KTP kepada para pelanggar. Makanya bagi warga yang tidak menggunakan masker pada saat mengemudi, kita hentikan dan dilakukan penyitaan KTP-nya,” kata Eddy di Surabaya, Senin (22/6).
Eddy menjelaskan, penyitaan KTP dilakukan selama 14 hari. Setelah 14 hari, pelanggar bisa mendatangi Maskas Satpol PP untuk mengambil KTP-nya kembali, sembari menuliskan surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya dan akan mematuhi semua protokol kesehatan yang berlaku.
“Sejak hari pertama penertiban hingga hari ini, sudah ada sekitar 40 KTP yang kami sita. Mereka bisa mengambil KTP itu setelah 14 hari, langsung datang ke kantor sambil membuat surat pernyataan,” ujar Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi warga yang melanggar dan tidak membawa KTP, maka pihaknya menjatuhkan sanksi lain. Sanksi yang dimaksud yaitu diminta push up bagi yang muda-muda, dan ada pula yang diminta joget.
“Jadi, diharapkan mereka ingat terus pernah dihukum joget karena tidak menggunakan masker. Sehingga mereka akan lebih ingat untuk terus menggunakan masker,” katanya.
Eddy memastikan, sanksi tersebut sudah diberlakukan sejak H+8 Perwali diundangkan. Karena pada tujuh hari pertama, Perwali yang dikeluarkan masih dalam tahap sosialisasi.
“Baru pada hari kedelapan kami beri sanksi terhadap pelanggar itu dan itu terus kami lakukan setiap harinya,” kata dia.
Pendapat pakar
Pakar Kesehatan Universitas Indonesia, Aria Fahrial Syam menilai PSBB sepatutnya diterapkan kembali di Kota Surabaya. Menurutnya, Ketua Pelaksanan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, punya kewenangan untuk mengusulkan penerapan PSBB di suatu wilayah.
Menurutnya, ada beberapa hal kenapa angka yang positif Covid-19 masih tinggi di beberapa tempat. Di antaranya, pelonggaran pergerakan masyarakat. Apalagi, kata dia, Kota Surabaya juga menganggap PSBB sudah selesai sehingga itu yang menjadi masalah.
"Beda dengan Jawa Barat dan Jakarta. Memang Jakarta transisi, tapi masyarakat euforia turun ke jalan. Jadi masalah pelonggaran," ujar Dekan Fakultas Kedokteran UI ini.
Oleh karena itu, Ari menilai perlu diterapkan lagi PSBB di Kota Surabaya karena kondisinya masih mengkhawatirkan. Selanjutnya, Ari melihat masyarakat masih abai terhadap protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti memakai masker, menjaga jarak atau physical distancing, mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir dan lainnya.
"Bisa juga kapasitas pemeriksaan ditingkatkan. Kalau tidak salah, di Jawa Timur itu 2.000 per hari sehingga ini berpengaruh dari jumlah kasus yang ditemukan semakin banyak," katanya.
Sebelumnya, Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur Joni Wahyuhadi menilai, seharusnya ada PSBB tahap keempat untuk Surabaya Raya. Sebab, kata dia, setelah pelonggaran PSBB Surabaya Raya, transmission rate dan attack rate Covid-19 di Surabaya Raya kembali melonjak.
"Attack rate dan transmission rate Surabaya Raya kembali naik setelah pelonggaran PSBB. Ini mengecewakan," ujar Joni, pekan lalu.
Joni berpendapat, kabupaten/ kota mempunyai mekanisme review apakah data yang masuk sekarang ini bisa dijadikan landasan berpikir ulang untuk PSBB. Sebab, bukan tidak mungkin setelah Perwali dan Perbub transisi new normal di Surabaya Raya kemudian harus PSBB lagi karena penularan masih tinggi.