Selasa 23 Jun 2020 16:51 WIB

Mengapa Penggemar K-Pop Menyabotase Kampanye Trump?

Penggemar K-Pop dan pengguna TikTok klaim menyabotase kampanye Trump

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Donald Trump dalam kampanye di Tulsa, Oklahoma pada Sabtu (20/6). Tingkat partisipasi kampanye di Oklahoma rendah sehingga Trump marah.
Foto: Albert Halim/EPA
Donald Trump dalam kampanye di Tulsa, Oklahoma pada Sabtu (20/6). Tingkat partisipasi kampanye di Oklahoma rendah sehingga Trump marah.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penggemar K-pop dan pengguna TikTok menjadi sorotan sebagai kekuatan politik karena mengklaim telah membuat kosong kampanye Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Tusla, Oklahoma pada Sabtu (20/6) silam. Ribuan bangku dalam kampanye Trump kosong karena mereka memesan ribuan tiket namun sengaja tak hadir ketika kampanye berlangsung.

Padahal sepekan sebelumnya manajer kampanye Trump, Brad Prascale, telah mengumumkan bahwa tiket kampanye telah dipesan hingga satu juta tiket. "Dari apa yang saya lihat beberapa tahun terakhir ini, basis penggemar kami sangat terlibat secara politis," kata penggemar BTS Afrika-Amerika berusia 21 tahun di Washington, Adaeze Agbakoba.

Baca Juga

Idola K-pop di Korea Selatan dikenal karena citra hiburan ketimbang politik. Namun, kemunculan band-band yang sadar sosial, seperti BTS, mengubah persepsi industri saat ini.

Dengan jumlah jutaan, penggemar K-pop ini didominasi oleh usia produktif yakni antara 18 hingga 30 tahun. Agbakoba menyatakan rentang usia tersebut sudah dapat memperlihatkan kelompok yang cukup matang karena mereka berkuliah, bekerja, dan melek politik.

Lalu mengapa para penggemar K-pop membidik Trump? Dikutip dari South China Morning Post, sosiolog visual Korea-Amerika, Michael Hurt, menyatakan penggemar K-pop cenderung lebih liberal dan mendukung gerakan hak-hak sipil.

"[Mereka memiliki] alergi terhadap serangan politik boomer mode, penghindaran tanggung jawab, dan sikap [kuno] yang diwakili Trump," kata dosen di Korea National University of Arts di Seoul itu.

Hurt melihat basis penggemar K-pop bersifat internasional, muda, dan diaktifkan secara digital. Mereka memiliki banyak demografi yang tumpang tindih dengan jenis orang yang akan paling benci dengan pesan-pesan diskriminatif dari Trump.

Hurt menekankan, warganet ini juga tahu cara melakukan pekerjaan digital lebih baik daripada siapa pun di dunia. "Tidak ada orang lain yang dapat melakukan pembunuhan digital yang lengkap atas minat Trump secara daring selain fandom BTS. Jadi ini sangat masuk akal," ujarnya.

Awal bulan ini, BTS dan label rekaman Big Hit Entertainment menyumbangkan satu juta dolar AS kepada gerakan Black Lives Matter. Sumbangan ini diberikan dengan pernyataan mereka yang ikut berdiri bersama kelompok itu melawan diskriminasi ras.

Sebelum kelompok ini dikenal karena aktivisme politik terbuka, penggemar K-pop sudah menguasai media sosial. Mereka menggunakan media sosial sebagai alat untuk berhubungan dengan teman sebaya dan mempromosikan idola, termasuk membela mereka dari kritik dan cemoohan.

"Aku rasa pidato BTS dalam forum PBB benar-benar membangkitkan semangat kami," kata Sterre Brouwer, pecinta boyband BTS berusia 15 tahun yang tinggal di Belanda.

Asisten profesor tamu di departemen bahasa dan budaya Asia Timur di Indiana University, CedarBough T. Saeji, mengatakan penggemar K-pop telah mengembangkan genggaman media sosial. Setelah bertahun-tahun bergerak untuk meningkatkan opini pada video, meminta lagu diputar di radio, atau mempromosikan rilis baru, kini gerakan mulai meluas.

"Semua metode pengorganisasian ditangani dengan pemahaman yang luar biasa tentang cara kerja sistem daring - misalnya, cara meningkatkan Spotify atau pemutaran Youtube tanpa ditandai oleh platform saat cara ini dibahas dan dianalisis," kata Saeji.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement