REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menilai tepat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan konstitusional atas Perppu terkait Penanganan Pandemi Covid-19. Kordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, putusan MK tersebut sudah sesuai konteks.
Namun, kata dia, MAKI sebagai salah satu prinsipal yang mengajukan permohonan, sudah kembali melayangkan gugatan atas UU 2/2020.
“MAKI berpendapat, hal itu (putusan MK) sudah seharusnya dilakukan MK,” kata Boyamin, dalam pernyataan resmi MAKI yang disampaikan kepada Republika, pada Selasa (23/6).
Sehingga, MAKI pun, kata Boyamin telah mengajukan gugatan kembali atas UU 2/2020 yang mengesahkan Perppu Corona menjadi undang-undang. “MAKI lebih optimistis gugatan yang kedua ini bakal dikabulkan,” kata Boyamin.
MK memutuskan menolak permohonan uji materil Perppu 2/2020, pada Selasa (23/6). Dalam amar putusan yang dibacakan Hakim Konstitusi Aswanto menyatakan, objek gugatan yang dimohonkan para pemohon sudah tak ada. Perppu Corona, sudah disahkan menjadi UU 2/2020 yang membuat objek gugatan menjadi tak relevan. Karena itu, MK menganggap permohonan uji materil tak dapat diterima.
Akan tetapi, Boyamin menyampaikan, meski demikian, langkah konstitusional lanjutan tetap dilakukan para prinsipal. MAKI, dikatakan Boyamin, sudah mendaftarkan judical review atas UU 2/2020. Pun kata dia, sidang perdana gugatan konstitusional UU 2/2020 itu, sudah dimulai pekan lalu. Dalam permohonannya, MAKI, kata Boyamin meminta Majelis Hakim MK membatalkan seluruh isi dan materi UU 2/2020.
Boyamin mengatakan, pembatalan UU 2/2020 tersebut harus dilakukan lantaran beleid tersebut diundangkan dengan mekanisme yang tak sah, dan tak sesuai konstitusi.
“Pengesahan Perppu Corona menjadi UU (2/2020) tidak sah. Karena DPR menetapkan UU tersebut, bukan pada masa sidang berikutnya,” kata Boyamin.
Pun, ia menerangkan, DPR menyalahi aturan dalam mengesahkan Perppu Corona menjadi UU 2/2020 lantaran tidak dilakukan voting. “Padahal sejak awal, ada fraksi, fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang menolak pengesahan Perppu itu menjadi UU,” terang Boyamin.
Perppu 2/2020 adalah produk konstitusi darurat yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai tanggap situasi penanganan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Aturan hukum darurat itu, diundangkan untuk memastikan stabilitas sistem keuangan negara, dan perekonomian nasional di masa pandemi Covid-19.
Perppu tersebut, diundangkan pada 31 Maret. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pun mensahkan Perppu tersebut menjadi UU pada 16 Mei, dan selanjutnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), mengundangkan beleid tersebut menjadi UU 2/2020.
Sebelum disahkan menjadi UU 2/2020, beberapa tokoh nasional, seperti mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan lembaga swadaya sipil lainnya, juga menggugat Perppu tersebut ke MK untuk dibatalkan. Akan tetapi, gugatan konstitusional atas Perppu tersebut dianggap MK tak lagi relevan, karena objek gugatan sudah berubah menjadi UU.