REPUBLIKA.CO.ID, Pada 2 November 2017 lalu tepat seabad usia Deklarasi Balfour, yang membuka jalan penjajahan dan penindasan di Palestina. Empat hari setelah perayaan deklarasi itu di Inggris, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, membuat penjajahan itu makin sempurna.
Ada persamaan antara kedua peristiwa ini? Melalui Deklarasi Balfour, Inggris menjanjikan dan memberikan Palestina yang bukan miliknya kepada Federasi Zionis Inggris Raya. Sementara itu, Trump memberikan al-Quds atau Baitul Maqdis (Yerusalem) yang juga bukan miliknya kepada Zionis-Israel untuk dijadikan ibu kota. Yerusalem, terutama Yerusalem Timur, adalah kota suci tiga agama; tempat kini berdiri Masjid Al Aqsa, Gereja Makam Kudus (The Holy Sepulchere), dan Tembok Ratapan.
Deklarasi Balfour adalah surat berisi 67 kata yang dibuat Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, yang ditujukan kepada pemimpin komunitas Yahudi Inggris, Walter Rothschild. Isinya adalah dukungan Pemerintah Inggris terhadap pendirian tanah air untuk orang Yahudi di Palestina dan bahwa Inggris akan melakukan usaha terbaik untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Deklarasi Balfour ini secara formal merupakan tindak lanjut dari memorandum rahasia yang disampaikan anggota kabinet Inggris, Herbert Samuel, yang juga anggota organisasi Zionis, pada 1915. Dalam memorandum berjudul "Masa Depan Palestina", Herbert Samuel, yang juga pemimpin Partai Liberal Inggris, meminta perlindungan Inggris untuk mendukung imigrasi Yahudi ke Palestina.
Berbilang dekade sebelum memorandum itu diajukan, sudah terjadi mobilisasi Yahudi Eropa ke Palestina. Adanya Deklarasi Balfour membuat mobilisasi imigran Yahudi Eropa ke Palestina makin deras, yang kemudian menggusur orang Palestina dari tanahnya. Hari Tanah (Land Day) se-Dunia, yang kita peringati setiap tanggal 30 Maret, bermula dari kisah perampasan tanah warga Palestina oleh panjajah Israel.
Walter Rotschild yang juga bekas anggota parlemen Inggris dari Partai Konservatif disebut-sebut terlibat aktif membuat draf Deklarasi Balfour bersama Chaim Weizmann, presiden organisasi Zionis yang kemudian menjadi presiden pertama Israel. James Balfour maupun Rotschild sama-sama berasal dari Partai Konservatif. Theresa May, mantan perdana menteri Inggris, juga berasal dari partai yang sama.
Hanya sebulan setelah Deklarasi Balfour ditandatangani, pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Edmund Allenby memasuki Yerusalem sehingga lempenglah jalan memuluskan rencana tersebut. Inggris mengambil alih kontrol atas Palestina, setelah mengalahkan tentara Ottoman pada Perang Yerusalem.
Ottoman saat itu memang sudah sangat lemah. Di samping Ottoman kala itu sedang terlibat Perang Dunia I dan kemudian menderita kekalahan, para pemimpin Arab juga berhasil dihasut untuk melawan Utsmani, dengan janji pembentukan kekhalifahan Arab oleh Inggris, yang ternyata kemudian diingkari. Selain itu, persoalan saat itu menjadi rumit karena di internal Ottoman muncul kebangkitan nasionalime Turki, yang mencapai puncaknya dengan munculnya Turki Muda.
Ya, Deklarasi Balfour adalah satu dari tiga serangkai yang menciptakan penderitaan Palestina dan dunia Islam saat ini. Dua lainnya adalah Perjanjian Sykes-Picot yang ditandatangani pada 16 Mei 1916 dan operasi intelijen yang dilancarkan Lawrence of Arabia yang menghasut negara-negara Arab untuk melawan saudaranya sendiri, Ottoman. Dalam membahas persoalan Palestina dan konflik-konflik di Timur Tengah, tiga persoalan ini tak terpisahkan.
Perjanjian Sykes-Picot ini ditandatangani Mark Sykes, politisi dari Partai Konservatif Inggris dan seorang penasihat diplomatik, dengan François Georges-Picot, seorang diplomat Perancis. Isi perjanjian rahasia tersebut adalah membagi-bagi wilayah Khilafah Ottoman di Timur Tengah antara Inggris dan Peranci, yang belakangan diikuti Rusia dan Italia.
Akibatnya, Palestina akhirnya jatuh ke dalam Mandat Inggris. Isi perjanjian ini baru dipublikasikan pada 23 November 1917 atau tiga pekan setelah ditandatanganinya Deklarasi Balfour.