Kamis 25 Jun 2020 00:43 WIB

Mengapa Banyak Tenaga Kesehatan Indonesia Meninggal?

Alasan Tingginya Kematian Tenaga Kesehatan Indonesia di Tengah Pandemi Corona

Red:

Kematian dr Anang Eka Kurniawan di Surabaya, pekan lalu (19/06) menjadi orang terakhir di keluarganya yang tutup usia karena pandemi COVID-19.

Mendiang dr Anang adalah kakak dari dr Deny Dwi Fitriyanto, dokter Puskesmas Tambelangan, yang meninggal lima hari sebelumnya di RS Unair, Surabaya.

Kedua orang tua mereka, yang juga bekerja sebagai tenaga kesehatan (nakes) di Jawa Timur meninggal dengan laporan yang menyebutkan akibat tertular virus corona.

Kedua orang dokter yang meninggal
  • Suwito, ayah dari dr Anang dan dr Eka meninggal di RSUD dr Mohammad Zyn Sampang, Madura, 7 Juni
  • Suwito berusia 60 tahun, baru empat bulan pensiun dari pekerjaannya sebagai perawat di Puskesmas Kedungdung, selain buka praktik di rumahnya
  • Suwito pernah tercatat sebagai pasien dalam pengawasan (PDP)
  • Sri Rahayu, istri dari Suwito meninggal dunia sehari setelah Suwito wafat
  • Sri Rahayu pernah menjadi bidan senior di Puskesmas Kamoning.

 

Di hari yang sama dr Deny meninggal, dokter Gatot Pramono yang bertugas di instalasi gawat darurat di RSUD Sidoarjo juga meninggal dunia, diikuti perawat Sri Agustin dari rumah sakit yang sama, sehari setelahnya karena positif COVID-19.

Kasus kematian keluarga tenaga kesehatan di Madura dan dua lainnya di Sidoarjo adalah refleksi dari kasus penularan COVID-19 di kalangan tenaga kesehatan di Jawa Timur.

 

Ratusan nakes di Jatim tertular COVID-19

Sampai tanggal 15 Juni 2020, tercatat ada 175 tenaga kesehatan di Jawa Timur yang terpapar COVID-19.

"Yang meninggal dunia ada tiga persen. Dari jumlah tersebut yang paling banyak terpapar virus adalah dokter dan perawat, tapi paling banyak masih perawat," kata Ketua Rumpun Tracing Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Jatim, Kohar Hari Santoso, pekan lalu (15/06).

 

Jika dirinci detailnya dari 175 nakes yang tertular, sebanyak 50 orang yang sedang dirawat dan yang meninggal dunia 6 orang.

Jumlah nakes yang meninggal saat diumumkan oleh Kohar Hari Santoso, belum termasuk dr Anang Eka Kurniawan, dr Gatot Pramono, dan Perawat Sri Agustin yang meninggal dunia tanggal 19 dan 20 Juni 2020.

Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) juga membenarkan jika Jawa Timur saat ini menjadi provinsi kedua, setelah DKI Jakarta, dengan angka perawat yang tertular dan meninggal dunia tertinggi di Indonesia.

110 perawat di Jawa Timur sudah dinyatakan positif COVID-19, tujuh di antaranya meninggal dunia, termasuk lima perawat di Surabaya.

Tingkat kematian termasuk tertinggi di dunia

Awal bulan Juni, terdapat 55 tenaga kesehatan Indonesia yang dinyatakan meninggal dunia akibat COVID-19.

Menurut Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Universitas Hasanuddin, Irwandy, tingkat kematian tenaga kesehatan Indonesia saat itu mencapai 6,5 persen.

Artinya, pada tiap 100 kematian ada sekitar enam hingga tujuh tenaga kesehatan yang meninggal dunia.

 

Sementara Wakil Ketua Umum PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia), dr Adib Khumaidi, mengatakan tingkat kematian nakes Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan angka bulan lalu.

"Enggak jauh beda, apalagi karena ada peningkatan angka kematian pada dokter dan perawat. Saya belum dapat informasi baru kalau dari dokter gigi," kata dr Adib kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Menurutnya Indonesia kini menjadi negara dengan tingkat kematian nakes tertinggi di antara negara Asia Tenggara, bahkan di dunia.

"Secara persentase, di dunia kita termasuk yang paling tinggi, karena angka negara-negara lain hanya sekitar 1 persen. Apalagi di ASEAN, kita paling tinggi," ucap dr Adib Khumaidi.

Sampai 23 Juni 2020, secara nasional IDI mencatat ada 38 dokter yang sudah terkonfirmasi meninggal karena COVID-19.

Media Katadata pernah membandingkannya dengan tingkat kematian nakes di Amerika Serikat dan Inggris yang di bawah 1 persen, yakni 0,16 persen untuk AS dan 0,5 persen di Inggris.

Padahal kedua negara tersebut memiliki jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 yang lebih besar dari Indonesia, yakni 1,5 juta kasus COVID-19 di Amerika Serikat dan lebihh dari 233 ribu kasus di Inggris.

 

Angka kematian di Indonesia, menurut dr Adib, masih bisa naik-turun, karena IDI masih menelusuri riwayat kasus-kasus yang dilaporkan kepada IDI.

Sementara itu, menurut data PPNI sampai tanggal 23 Juni 2020, secara nasional ada 30 perawat yang meninggal dunia, 129 perawat positif COVID-19, 717 berstatus ODP dan 64 dalam status PDP.

 

"Tapi dari 30 yang meninggal dunia, tiga di antaranya masih akan kami telusuri lagi karena statusnya PDP," tutur Asep Gunawan dari PPNI Pusat.

Sama seperti IDI, PPNI menilai perlunya penelusuran dan konfirmasi para tenaga kesehatan karena COVID-19 karena beberapa hal yang harus ditindaklanjuti, salah satunya soal santunan.

"PPNI tetap harus mengacu ke hasil tes swab dan harus terkonfirmasi, karena PPNI juga mengurus santunan-santunan dari pemerintah, atau beasiswa atau donasi [untuk keluarga]," ujar Asep.

 

'Dokter PPDS paling rentan'

Sejak pekan lalu dokter yang sedang mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang menangani pademi COVID-19 di Indonesia juga menjadi sorotan.

Diketahui ada sembilan dokter PPDS yang dirawat di RSUD dr Soetomo sampai Selasa malam (23/06), dengan dua diantaranya menggunakan ventilator.

Menurut catatan Jawa Pos yang melakukan penghitungan secara mandiri, terhitung sejak Maret sampai 20 Juni 2020, ada 41 dokter PPDS yang terkonfirmasi positif COVID-19.

Dari jumlah tersebut, satu di antaranya, Miftah Fawzy Sarengat, dokter PPDS penyakit dalam dari Universitas Airlangga (Unair), yang meninggal dunia pada 10 Juni.

 

Menurut Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta, dr Prijo Sidipratomo, posisi dokter PPDS memang sangat berisiko.

"PPDS itu adalah barang yang paling rentan dalam sistem rumah sakit pendidikan. Mereka bekerja di luar jam kerja yang normal, dengan segala konsekuensi mulai tata tertib sekolah dan hukuman senior," kata dr Prijo.

"Kalau mereka sampai bertumbangan, analisa saya mungkin soal APD yang kurang lengkap, atau kalaupun APD-nya lengkap, ya dia burnt-out [kelelahan]," tambah mantan Ketua IDI ini.

Sementara Direktur Utama RSUD dr Soetomo dr Joni Wahyuhadi SpBS mengakui kekelelahan menjadi salah satu faktornya, karena banyaknya pasien terduga corona yang dirujuk ke rumah sakitnya.

"Pernah dalam sehari sampai 39 pasien yang dirujuk ke sini. Dokter spesialis dan dokter PPDS itu ya kelabakan. Meskipun sudah pakai APD level tiga, rasa khawatir tetap ada," ungkapnya.

 

Secara umum, dr Prijo mengkritik sistem PPDS di Indonesia.

"Peserta PPDS ini akan dipakai untuk bagian dari jaringan kesehatan, tapi mereka harus bayar sendiri. Pemerintah yang memakai [jasanya] tidak menggaji dia, ataupun kalau digaji sangat kecil," jelasnya.

Nakes di poliklinik 'masih diabaikan'

 

Persentase tingkat kematian tenaga kesehatan Indonesia yang tinggi menjadi perhatian serius IDI untuk saat ini melakukan langkah investigasi dan mitigasi.

Saat ABC menanyakan hasil sementara dari investigasi yang sedang berjalan, Adib menyebutkan beberapa hal yang perlu menjadi catatan bagi tenaga kesehatan dalam konteks penularan COVID-19.

Salah satunya adalah mengingatkan tenaga kesehatan yang harus tahu bagaimana cara mengenakan dan melepaskan APD dengan benar.

"Ada tahapannya, mana yang harus dilepas terlebih dahulu, sampai sesudahnya nakes tidak boleh memegang apa-apa lagi sampai setelah cuci tangan, karena sumber virusnya ada di tangan kita," jelasnya.

 

Dr Adib menambahkan, pihak rumah sakit juga perlu menyediakan ruang ganti khusus APD, karena berpotensi menjadi sumber penularan di rumah sakit.

Sementara menurut Asep Gunawan dari PPNI kelengkapan APD bagi para perawat di poliklinik atau ruang praktik biasa masih sering diabaikan.

Padahal, menurut Asep, banyak kasus penularan yang dilaporkan justru terjadi di poliklinik, bukan di ruangan khusus perawatan COVID-19 yang APD-nya relatif lebih lengkap.

"Menurut data hasil investigasi kami di beberapa daerah, mereka yang meninggal rata-data bertugas di poli, ada yang di poli bedah, poli penyakit dalam."

"Saat masyarakat datang, kami tidak tahu mereka ODP, PDP, atau positif corona. Perawat yang melayani, ya tanpa APD. Mungkin inilah titik awal penularannya," jelas Asep.

Di luar soal APD, dr Adib Khumaidi mengingatkan para nakes yang memiliki penyakit bawaan sebelumnya untuk lebih berhati-hati karena memiliki risiko yang lebih tinggi.

Sejumlah tenaga kesehatan yang meninggal memang diketahui memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, pneumonia, dan jantung.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement