REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Direktur Jenderal Badan Penegakan Maritim Malaysia (MMEA), Mohd Zubil Bin Mat Som, mengatakan, belasan pengungsi Rohingya yang meninggal dan jenazahnya dilepaskan ke lautan dalam perjalanan menuju negara itu, Rabu (24/6). Mereka harus menempuh perjalanan penuh liku selama empat bulan di lautan sebelum menepi.
Pengungsi Rohingya yang kapalnya rusak telah mendarat di pulau Langkawi, Malaysia pada 8 Juni membawa dengan 269 orang di dalamnya. Lebih dari 300 orang telah dipindahkan ke sebuah kapal dari kapal yang lebih besar untuk perjalanan di dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh pada Februari.
"Tapi beberapa meninggal di laut. Mereka dilarung ke laut," kata Zubil menjelaskan bahwa Rohingya yang meninggal dunia akibat jatuh sakit.
Nasib hampir 500 pengungsi Rohingya yang tetap berada di "Motherboat 1" setelah transfer di laut tidak diketahui hingga saat ini. Zubil menyatakan, pihak berwenang tidak dapat melacak lokasi kapal besar tersebut.
Pengungsi Rohingya telah mempertaruhkan nyawa untuk melakukan perjalanan laut yang berbahaya setelah tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh yang sesak. Mereka mencari tempat perlindungan setelah meninggalkan tempat tinggalnya di Myanmar ketika penumpasan militer pada 2017.
Malaysia adalah rumah bagi pengungsi Rohingya terbesar kedua setelah Bangladesh. Namun dalam beberapa pekan terakhir, negara Asia Tenggara itu telah memutar balik setidaknya dua kapal dan menahan ratusan orang Rohingya dan migran tidak berdokumen. Keputusan itu dilakukan setelah meningkatnya kemarahan publik terhadap orang asing yang dituduh menyebarkan virus corona dan membebani sumber daya negara.
Zubil mengatakan, pengungsi Rohingya yang telah ditahan untuk bisa pergi harus membayar sekitar 2.500 ringgit di muka untuk melakukan perjalanan kepada penyelundup. Mereka juga harus membayar tambahan 11.000-13.000 ringgit setelah mereka menemukan pekerjaan di Malaysia. Kebanyakan dari pengungsi adalah perempuan yang dijanjikan untuk menikah dengan pria Rohingya di Malaysia.