REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto mengatakan revisi UU KPK atau UU Nomor 19 Tahun 2019 tetap sah meski KPK tidak dilibatkan dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut. "Saya berpijak pada Pasal 20 ayat 2 UUD, sahnya undang-undang adalah karena ada persetujuan antara Presiden dan DPR," ujar Aan Eko Widiarto yang dihadirkan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/6).
Berdasarkan Pasal 20 Ayat 2 UUD NRI 1945, kata dia, undang-undang dibahas untuk mendapat persetujuan bersama Presiden dan DPR sehingga hanya persetujuan bersama dua pihak itu yang mengesahkan suatu undang-undang. Ia berpendapat KPK termasuk cabang kekuasaan eksekutif, seperti telah dikukuhkan Mahkamah Konstitusi, sehingga semestinya pemerintah yang melibatkan KPK dalam pembahasan rancangan revisi UU KPK.
"Dalam pendapat saya, KPK itu seharusnya sudah masuk di dalam pemerintah, di dalam presiden. Kewajiban presidenlah yang seharusnya melibatkan KPK dalam proses pembahasan RUU KPK," tutur Aan Eko Widiarto.
Sementara terkait masyarakat yang disebut tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK, ia menyebut posisi masyarakat telah terwakili DPR. Tentang tidak ditandatanganinya revisi UU KPK oleh Presiden setelah disetujui DPR dan pemerintah, ia mengatakan tidak menjadikan undang-undang itu juga tidak sah.
Adapun sebanyak 7 perkara pengujian revisi UU KPK disidangkan bersamaan dalam kesemparan itu, salah satunya yang diajukan mantan pimpinan KPK Agus Rahardjo dkk. Kuasa hukum Agus Rahardjo dkk Violla Reinanda mengatakan pihaknya menghadirkan ahli untuk memperkuat pengujian formil dengan fokus teknis pembentukan undang-undang secara konstitusional.